Rabu, 07 Desember 2011

Gadis yang itu



"Bung, sekarang giliran kamu. Hayoh! Jangan sungkan-sungkan!"
Saat aku menatap tubuh telanjang di atas tempat tidur itu, terus terang rasa tidak tegaku muncul. Gadis itu masih terlalu kecil, kataku dalam hati. Payudaranya saja belum tumbuh benar. Tapi lendir-lendir basah keputihan yang mengalir dari liang kemaluannya itu berkata lain.

"Tunggu apa lagi? Hayoh! Kalau tidak mau ya, jangan di sini!"
Gadis kecil itu membuka sedikit kelopak matanya. Aku terenyuh saat menyaksikan matanya seolah memohon agar penderitaannya segera diakhiri. Ia harus pulang, kata matanya, ia harus menyetor lembar puluhan ribu itu pada ibunya. Ia harus membayar untuk keperluan sekolahnya. Tapi ia masih terlalu kecil, lagi kata hatiku berseru. Kamu punya otak? Punya hati nurani? Otak mungkin sudah terbang, saat aku mendekati gadis kecil itu. Tapi nurani masih ada Bung, karena itu aku menutup mata.

"Hkk..." gadis kecil itu mengerang saat batang kemaluanku menusuk masuk.
Licin, gumamku dalam hati. Beberapa orang tertawa di belakangku.
"Begitu baru bagus. Hayoh..! Sikat dia! Tancap terus sampai mampus!"
Aku menggerakkan pinggulku tanpa perasaan. Tidak sekali pun kubuka mata ini. Sebab kalau kubuka dan aku melihat wajahnya yang meringis itu, aku pasti akan segera melarikan diri.
"Hayoh..! Hahaha..! Hayoh..!"

Laki-laki yang suka berseru "Hayoh!" itu bernama Jomblang. Jelas-jelas itu nama panggilan. Nama aslinya aku tidak tahu, karena aku baru mengenalnya malam itu, saat aku dan teman-temanku bersenda gurau di sebuah warung kopi. Sayang, saat Erwin menyapanya, aku tidak melihat gadis kecil itu berdiri di belakangnya. Lihatlah sekarang, apa yang sedang kulakukan. Aku sedang bersetubuh dengan seorang bocah ingusan yang kukira usianya terpaut dua puluh tahun denganku.

"AKK..! AKK..!" begitu aku mendengarnya memekik-mekik.
Suara tawa sahabat-sahabatku, beserta teriakan-teriakan penambah semangat mereka masih juga dapat kudengar.
"Hayoh..! Sikat, Bleh..!" juga suara si Jomblang yang parau itu.
Aku heran, kenapa juga tadi aku mau diajak ke rumah ini. Kenapa juga tadi aku mau disuruh masuk ke dalam kamar untuk menyaksikan semuanya. Dan kenapa aku mau pula saat disuruh 'melakukan'?

"Ampun, Oom..! Ampun..!" tiba-tiba aku mendengar si gadis kecil merengek.
Tidak tahan, kubuka mataku. Benar juga. Hatiku pilu seketika. Ternyata gadis kecil itu sedang menangis sesunggukan. Beban lima lelaki pasti terlalu berat untuknya.
"Lihat! Dia minta ampun! Hahaha..!" suara si Jomblang terdengar lagi, tawanya semakin keras.
Aku berhenti menggerakkan pantatku. Ya. Aku berhenti. Kupandangi gadis itu yang sudah diam dalam-dalam. Kelopak matanya yang tadi terpejam juga membuka. Dan ia menatapku di balik genangan air matanya.
"Oom..."

"Hayoh..! Kenapa berhenti?"
"Sudah, Blang, sudah. Kasihan itu anak kecil."
Saat aku menoleh, kulihat salah seorang temanku memegangi pundak si Jomblang. Tetapi orang berwajah liar itu langsung menepis.
"Edan! Masa cuma segitu? Hayoh! Terus lagi..!"
Aku kembali berpaling ke arah si gadis kecil. Hatiku merasa iba. Gadis kecil itu memejamkan matanya. Ia begitu pasrah.

Sorakan si Jomblang kembali terdengar saat aku bergerak lagi, "Hayoh..! Hayoh..! Hayoh..!"
Hayoh kepalamu, pikirku berang. Tapi aku bergerak juga. Akhirnya, aku tidak tahan lagi. Kutarik batang kemaluanku dan ejakulasi di atas bulu kemaluannya yang jarang-jarang itu. Sorakan-sorakan menghilang, juga hayoh-hayoh. Semua seolah meresapi kejadian itu. Bangsat..! Batinku dalam hati. Bukan pada si hayoh-hayoh itu. Tapi pada diriku sendiri.

"Bagus, Bung. Anda luar biasa..!" si Jomblang menepuk pundakku dari belakang.
Saat kubalikkan tubuh, teman-temanku berkerenyit dengan menggeleng. Erwin tampak menyiratkan rasa penyesalan itu di bibirnya yang tergigit. Selebihnya, hanya si hayoh-hayoh yang terkekeh-kekeh. Mengapa orang-orang ini begitu takut pada si liar itu, tanyaku dalam hati. Hatiku terasa kecut saat menyadari bahwa aku juga takut.

"Blang, kami pulang dulu." akhirnya Erwin membuat semua orang selain si hayoh, bernafas lega.
Tanpa memperhatikan, Jomblang mengayunkan lengan.
"Hahaha. Oke, oke. Terima kasih dan hati-hati di jalan."
Aku berharap dia mati ditabrak bus nyasar saat ia keluar wisma nanti. Bodoh, itu tidak akan terjadi. Sementara di depan mataku, yang terjadi saat itu si Jomblang sudah menindih tubuh gadis kecil itu dan menciuminya dari jidat ke payudara. Monyet, umpatku sekali lagi sebelum meninggalkan tempat itu.

Selama perjalanan pulang, tidak ada seorang pun dari kami berempat yang mengeluarkan suara. Semuanya sibuk dengan ingatan akan dosa masing-masing. Oke, kami tadi baru saja menggauli beramai-ramai seorang gadis di bawah umur. Menggelikan mengingat perut-perut buncit kami yang seharusnya kenyang berisi pengalaman tentang getir hidup. Seorang bocah dan lima lelaki? Sinting! Tapi itulah yang teradi belasan menit yang lalu.

"Hati-hati, Ton."
"Iya, kalian juga," balasku dengan memaksa diri untuk tersenyum.
Panther kelabu itu segera melaju dari hadapanku. Saat kubalikkan tubuh, yang kutatap pertama kali adalah rasa menyesal.

Rumah benar-benar sepi saat aku masuk. Lampu ruang tamu dan ruang tengah juga sudah dimatikan. Jam di atas TV menunjukkan pukul setengah dua pagi. Berusaha tidak menimbulkan kegaduhan, aku melepas sepatu kerja yang kukenakan, lalu menuju ke kamar tidur.

"Pa..?" wanita itu, isteriku, membalikkan tubuh saat aku menutup pintu.
"Belum tidur, Ma..?" tanyaku sambil tersenyum. Ia menggelengkan kepala.
"Dari mana..?"
Dari memperkosa seorang bocah, kata hatiku.
"Dari jalan-jalan. Dengan yang lainnya," jawabku seraya melepas kemeja dan celana.
"Minum..?" kudengar wanita itu bertanya lagi.
"Tidak, hanya kopi." kataku.

Kuraih sebuah kaos dan celana pendek.
"Sini..!" bisiknya setelah aku berpakaian.
Saat aku tiba di pinggir tempat tidur, ia merentangkan kedua tangannya.
"Aku mau memelukmu. Pelukan selamat datang." bisiknya seraya tersenyum.
Kubalas senyumannya, lalu menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur, ke dalam pelukannya.

"Capek?" ia bertanya.
Tangannya memijat dada dan pangkal lengan kiriku. Aku mengangguk. Capeknya bukan di otot, Ma. Tapi di hati.
"Mau aku.. mmm..?"
Kupegang tangannya saat ia mulai mengelus bagian bawah pusarku.
"Aku mau keluar sebentar." ucapku, mencoba untuk tersenyum.
Wanita itu mengangguk.

Aku bangkit dari tempat tidur, lalu melangkah keluar kamar. Bingung. Apa yang harus kulakukan? Kulangkahkan kakiku menuju dapur, membuka kulkas, dan mengeluarkan botol jus melon yang isinya masih tersisa sepertiga. Jus melon itu membuat tenggorokanku yang kering menjadi lebih segar. Begitu pula otakku. Mungkin kalau ada jus melon penghilang rasa bersalah, akan sangat berguna saat itu. Tanpa sadar, kesegaran itu membawa kakiku melangkah melintasi lorong rumah. Saat kubuka pintu kamar berwarna merah jambu itu, aku tersenyum. Kamar itu terasa hangat sekali.

Aku tidak berani menyalakan lampu. Takut kalau bidadari kecil itu terbangun nantinya. Jadi kubiasakan pandanganku dalam gelap, sebelum melangkah lebih dekat, sampai ke pinggir tempat tidur. Angin dari AC ini dingin sekali, pikirku dalam hati. Aku membalikkan tubuhku dan menuju AC yang mendengung di belakangku. Aku sedikit heran saat melihat tombol sudah menunjuk ke LOW. Belum ada kontrol temperatur seperti AC di kamarku sendiri. AC tua ini masih bagus, selalu begitu kataku pada isteriku.

Masih merasa dingin dan bingung, aku mengangkat bahu dan melangkah mendekati tempat tidur. Senyumku mengembang saat melihatnya. Bidadari kecilku, bisikku dalam hati. Masih tersenyum, kuangkat selimut yang menutup sampai ke pundaknya. Dan bidadari kecilku menggeliat, menyadari kehadiran bapaknya.

Aku meloncat mundur dan memegangi tembok. Wajah gadis itu..! Gadis itu..! Gadis itu menyeringai ke arahku. Matanya membeliak mengerikan. Bola mata seolah hendak melompat dari situ. Ia menyeringai menampakkan deretan giginya yang kuning. Lalu matanya memutih dan seringainya hilang, berganti dengan mulut yang setengah membuka.
"AKK..! AKK..!" desahan itu menggema di kepalaku.
"Tidak..!" aku berbisik dan menutup telingaku. Kupejamkan mata.

Saat aku membuka mata, hanya dengung AC dan keremangan yang menyambutku. Keringat dingin mengucur di dahiku. Bulu tengkuk yang sedetik lalu berdiri sudah kembali lemas. Tapi jantungku masih berdegup kencang. Kuberanikan diri untuk kembali mendekat. Kuhembuskan napas lega saat melihat bidadari kecilku di sana. Masih tetap cantik dan molek, mirip ibunya. Tersenyum lega, kubetulkan tepian selimut yang menutupi tubuhnya. Saat itu mendadak hawa dingin kurasakan lagi. Kali ini lebih dingin. Berkerenyit ngeri, aku membalikkan tubuh menuju pintu keluar. Mirip kucing kena air, aku menutup pintu dan cepat-cepat kembali ke kamarku sendiri.

Isteriku menyambutku dengan wajah heran.
"Dari mana saja, Pa? Tadi aku mendengar suara. Papa baik-baik saja?"
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya memandang ke arahnya dengan pandangan kosong. Saat aku berhasil menguasai ketakutanku. Sedih muncul. Rasa bersalah muncul.

"Aku akan menjadi Papa yang baik," begitu aku berkata padanya saat bidadari itu lahir ke dunia.
Aku masih mengingatnya dengan baik sekali. Dan waktu itu ia berkata, "Aku percaya padamu, Pa."
Semuanya terasa menjadi sebuah kebohongan besar sekarang. Jadi bohong setelah bertahun-tahun tampak nyata.

Aku tidak sadar bagaimana ia mendadak ada di hadapanku. Isteriku mengangkat tangan dan menempelkan punggung telapaknya di keningku.
"Kamu berkeringat. Kamu sakit?" ucapnya dengan nada khawatir.
Kugelengkan kepala. "Tidak, aku tidak apa-apa."
Lagi-lagi sebuah dusta. Entah berapa banyak lagi yang akan mengalir dari mulutku. Aku tidak tahu.

Isteriku lalu mencium bibirku. Aku merinding saat kusadari apa yang ia mau dariku saat itu. Tapi tubuhku tidak kuasa menahan gejolak yang ditimbulkannya. Dari gesekan-gesekan buah dadanya. Dari caranya memeluk dan mempermainkan cuping telingaku.

Tidak berapa lama kemudian, kami sudah bergulat tanpa busana di ranjang. Menggeluti satu dengan lainnya seperti ular, dengan tangan dan kaki. Bibir saling berpagutan. Tangannya bergerak aktif membelai bagian-bagian tubuhku. Aku pun tidak kalah sengit. Semakin bernafsu memainkan jemariku di dalam liang kewanitaannya. Masih berpagutan, ia tersenyum. Matanya yang semula mengatup menatapku mesra.

Sedetik setelah aku tersenyum, isteriku mendorong pundakku lalu mengangkangi tubuhku. Tidak tahan dengan sensasi yang muncul kala batang kemaluanku didudukinya, aku mengerang dan membusurkan punggungku. Isteriku bergerak-gerak maju mundur di atasku.
"Ahh.. ahh..!" erangannya dan eranganku menyatu.
"Ahh.. ah.. AKK..! AKK..!"

Aku membuka mata, membelalak ngeri.
GADIS ITU..! GADIS ITU..! IA DI ATASKU SEKARANG..! Ia menyeringai. Menyeringai jahat. Matanya membeliak, bolanya hendak melompat keluar. Kemudian matanya memutih, dan bibirnya setengah membuka. Hawa terasa dingin sekali seketika.
"AKK..! AKK..!"

"Aaarrggghhh..!" aku berteriak sekuat tenaga.
Aku mendorong lenganku dan melontarkan tubuh itu dari atasku. Kuayunkan lenganku ke depan.
"Pergi..! Pergi..!" teriakku seraya menutup mata.
Suara benda jatuh dan erang kesakitan membuatku tersadar. Saat kubuka mataku, kulihat isteriku mengaduh di lantai.

"Ma..?" panggilku terkejut.
Isteriku masih mengelus-elus pinggulnya saat ia menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.
"Pa..? Kenapa sih..? Ada apa..?"
Aku menutup wajahku dan tidak tahu harus berkata apa. Kurasakan tempat tidur bergerak saat isteriku naik. Tangannya menyisiri rambutku.
"Ada apa, Pa..? Ada masalah apa..?"
Aku tidak dapat menceritakannya. Aku tidak mau menghancurkan segalanya. Aku takut. Aku seorang bapak rumah tangga yang baik. Seperti yang pernah kuucapkan dulu.

"Aku hanya lelah. Itu saja." aku berkata, seraya menurunkan tangan dan tersenyum.
Isteriku membalas senyumanku. Ia menarik kepalaku dan menyandarkannya di dadanya.
"Maaf, Pa. Aku tak tahu. Tidur saja ya?"
Aku mengangguk. Aku memang lelah sekali. Lelah di fisik dan otakku. Kemudian aku tertidur sepuluh menit kemudian.

Di kantor, keesokan harinya, semua tampak kusut. Semua tampak memikirkan kejadian kemarin. Semua merasakan hal yang sama. Rasa bersalah di dalam hati. Terutama Erwin, yang menjadi pemicu awal. Semuanya merasakan yang sama. Dihantui. Bukan hanya aku ternyata, semuanya menatap ke arah meja. Semuanya membaca lagi huruf demi huruf itu. Semuanya memandang ke arah gambar yang sama. Gadis itu, siapa lagi.

SEORANG GADIS DI BAWAH UMUR MENJADI KORBAN PERKOSAAN DAN PEMBUNUHAN.

Saat itu semuanya sadar. Rasa bersalah itu akan tetap ada. Rasa bersalah dan kengerian. Rasa menyesal saat kami sadar bahwa kami semua punya waktu untuk menghentikan segalanya. Waktu yang lenyap karena kebutaan, karena takut yang menopengi birahi setan dan iblis. Gadis itu pasti menyalahkan kami. Arwahnya pasti. Karena kami ikut menidurinya. Ikut meniduri calon bangkai itu. Bocah yang itu. Gadis yang itu.

Dalam hatiku bertanya-tanya. Pertanyaan serupa yang kukira mereka ajukan pula di benak mereka.
"Aku tidur dengan siapa malam nanti... apakah ia akan muncul lagi... apakah aku bisa tenang malam ini... lalu.. lalu... dan lalu..?"


TAMAT

Gadis Selingkuhanku



Cici (aku biasa memanggilnya CC) adalah gadis yang ketemu lagi beberapa bulan yang lalu (sekitar September 2001) di Mataram. Sebagai mahasiswi salah satu Akademi Pariwisata terkenal di Jakarta, dia harus menjalani studi praktek di salah satu hotel berbintang di Lombok. Umurnya baru 19 tahun, beda jauh dengan umurku yang sudah 35 tahun dan sudah menikah dengan tiga anak.

Sekarang aku menjalani hidup berkeluarga dengan istriku, aku tidak suka ganti-ganti atau jajan. One women at a time, lah. Hubungan kami berlangsung biasa saja.

Tapi, lama kelamaan senyumnya itu lho yang membuatku mabok kepayang. Ukuran tubuhnya yang relatif (tingginya hanya 155 cm) kecil pun merupakan impianku, karena aku juga tidak terlalu tinggi (167 cm). Hubungan kami sebenarnya mulai sebagai layaknya saudara, sampai suatu hari saya telpon dan menyatakan keinginan saya untuk berhubungan lebih serius.

"Kapan Cici ke Jakarta? Aku udah pengin banget nih ketemu sama kamu." tanyaku ketika meneleponnya pada awal bulan yang lalu.
"Wah aku nggak bias bolos,mas, kecuali kalau hanya untuk satu atau dua hari. Aku baru pulang nanti bulan Januari tahun depan. Jatah tiket aku untuk bulan-bulan itu." jawabnya, "Kecuali kalau ada yang mau kasih tiket pesawat, hehehe."
Kesempatan nih, pikirku.
"Gimana kalau aku kirim tiket? Mau kan? Tanggal berapa?" tanyaku penuh harap.
"Gimana kalau akhir minggu ini? Tapi jangan bilang sama orang rumah kalau aku bolos lho!" pintanya mengingatkan.

Benar saja, pada hari Jumat sepulang kantor kujemput dia di Cengkareng. Wow.., beda sekali! Dia pakai celana jeans biru ketat, dengan kaos ketat menggantung, sehingga pusarnya kelihatan. Dan, ya ampuun.., dengan kaos yang ketat itu, terlihat dengan jelas betapa besar buah dadanya yang terlihat terlalu besar dibanding dengan badannya yang mungil. Kutaksir berukuran 36 lah.

Biasanya dia pakai baju agak longgar, jadi tidak begitu kelihatan. Batang penisku langsung bereaksi, tapi lalu kutenang-tenangkan agar cepat kendor. Belum waktunya.
"Gimana Ci, kita makan dulu ya..?"
Kami langsung ke Plasa Senayan, makan sambil ngobrol di Spageti House. Setelah itu, kami langsung menuju di Horison Ancol untuk menikmati waktu berdua kami.

Setelah ngobrol panjang lebar, kulihat dia berjalan mendekati jendela yang menghadap ke laut. Kuanggap ini sebagai undangan dan lalu aku mendekati dan memeluknya dari belakang. Kurasakan buah dadanya menjadi lebih kencang dan dipejamkan matanya. Kuciumi lehernya dengan penuh gelora nafsu. Kulepas kaitan BH-nya sehingga dengan leluasa dapat kuraba dan kuremas. Ooh besar sekali buah dada ini. Kubalik badannya, kuangkat kaos mininya dan kucium dan kulumat penuh gelora buah dada itu. Sepertinya ia baru pertama kali pacaran seperti ini.

"Haarhhh.. malu nich..!" katanya, tanpa memintaku berhenti.
Aku menjadi semakin berani. Celananya kubuka. Cici memberontak sedikit, tapi tidak terlalu berarti. Kulepas semua pakaiannya sehingga dia telanjang bulat, sementara diriku masih berpakaian. Putih mulus tubuhnya kunikmati, karena kami tidak mematikan lampu. Kucium seluruh tubuhnya yang berdiri tegak di depanku. Seperti cacing kepanasan, Cici menggeliat dan mengerang. Seluruh badannya merinding dan menggigil.

Ketika ciuman dan jilatanku sampai ke daerah kemaluannya, Cici mengerang hebat sambil meremasi rambutku.
"Hegh.. Harrch... Enak sekali. Kaki saya lemes Harch.. tolong akhhu heh..!" erangan yang terdengar sangat merangsang bagiku.
Sekali-sekali kuraba dan kuremas lembut buah dadanya yang menggunung itu, sangatlah seksi dan merengsang berahiku.
"Harch heehh please..! Aku lemas sekali nich.. auch..!" lenguhnya semakin tinggi.

Aku segera mengangkatnya ke tempat tidur dan melanjutkan jilatan-jilatanku di daerah surganya. Tidak terasa, sudah lebih dari 10 menit aku memberinya pengantar kenikmatan, seolah ia sudah sangat pengalaman. Sampai akhirnya, aku terkejut karena ia menjadi seperti kejang, meremas kepalaku dan menekannya ke vaginanya.

"Harchh.. aku mau.. augh..!" lenguhnya meninggi.
Wow.., dia sudah orgasme. Ada sedikit cairan kental keluar dari vaginanya, hangat dan nikmat. Dalam keadaan terengah-engah masih kujilat bibir vaginanya. Lenguhan-lenguhannya seperti tidak mau berhenti. Terkulailah gadisku lunglai seperti tanpa daya. Kupeluk dan kucium bibirnya dengan mesra dan cinta. Aku sengaja menahan diri, untuk memberinya kesempatan lebih dulu.

"Gimana Ci, enak..?" tanyaku, "Kamu pernah seperti ini sebelumnya..?"
"Aku nggak tahu pasti bayanganmu tentang diriku, Mas. Mungkin kamu menganggap aku perempuan murahan. Tapi sungguh, ini pertama kali aku merasakan kenikmatan yang tak terlukiskan. Biasanya, aku hanya masturbasi saja. Aku mau mempersembahkan keperawananku pada orang yang kucintai." jawabnya.
"Jadi kamu masih perawan..?" tanyaku dengan heran.
"Ya, aku masih perawan. Dan aku akan mempersembahkannya untukmu. Aku sangat mencintaimu, Mas."
Jawaban ini membuat hatiku runtuh, sebab biasanya aku nggak pernah selingkuh sama wanita lain, apalagi yang masih perawan.

"Cici aku minta maaf, tapi sepertinya aku tidak sanggup melanjutkan. Aku belum mengatakan, gimana latar belakang dan keadaanku sebenarnya." keinginanku untuk menjelaskan dipotong Cici.
"Mas, aku sudah tahu kok. Aku tanya sama teman-temanmu di sana. Dan mereka memberi tahu apa adanya. Jadi, aku sudah tahu dan siap untuk menjadi madumu." jawabnya dengan centil sambil mencubitku.
"Yang bener nih..?" tanyaku sambil tertawa, bahagia sekali rasanya.

Kutengok arlojiku, sudah jam 11 malam.
"Kamu nggak mau pulang nengok Papa-Mama Ci..?"
"Kan sudah saya bilang, saya bolos dan mas harus merahasiakannya, Oke..!"

Dia membalikkan badannya sehingga menghadapku, kulonggarkan pelukanku dan dia seperti tersadar. "Lho.., jadi mas tuh masih berpakaian to..? Ya ampun, malu nih..! Payah nih mas. Ayo dong, mas juga buka baju..!"
Aku segera membuka baju. Cici memandang dengan penuh rasa ingin tahu. Tanpa sadar, burungku yang tegang sekali ternyata telah mengeluarkan cairan bening.

"Har, burung mas besar sekali. Muat nggak ya..?" tanyanya sambil memandangi penisku yang coklat kehitaman.
Ukurannya sebenarnya tidak lah besar, tergolong kecil lah karena hanya sekitar 14 cm.
"Kok ada cairan beningnya sih..?"
"Ya iya, aku kan juga merasakan kenikmatan dengan memberimu yang tadi itu."
"Har, kasih tahu dong gimana aku bisa memberiu mas kenikmatan seperti yang kurakakan tadi..!" pintanya.
"Learning by doing aja ya." jawabku.

Setelah memberi tahu cara-caranya, aku lalu rebahan. Masih dengan agak canggung, Cici mulai memegang, menggosok dan memijat penisku, juga buah pelirnya.
"Ooh.. Cici, enak sekali..!" gumanku menikmatinya.
"Mulai dikemut dong Sayang..!" pintaku.
Cici dengan agak ragu memasukkan penisku ke dalam mulut mungilnya. Pada awalnya agak sakit, karena sesekali terkena giginya, tapi kemudian Cici menjadi lebih pintar. Kuluman atas penisku menjadi lebih lembut dan nikmat sekali.

"Kemut, jilat dan raba semuah.. Ci..!" pintaku karena mulai menanjaklah kenikmatan itu.
Karena sering kali tidak tahan, aku menggoyangkan pantatku. Sehingga, jilatan bagian bawah buah pelir seringkali salah ke daerah sekitar anus. Dia memejamkan mata, jadi dia tidak tahu, tapi aku dapat merasakan kenikmatannya.
"Oougghh.., enak sekali Ci..!" erangku tiap kali daerah duburku terjilat.
Pada awalnya aku memang tidak sengaja, tapi kemudian sesekali kupelesetkan karena nikmatnya. Aku belum pernah mengalami kenikmatan ini dari wanita mana pun.

Kenikmatan mulai memuncak dan aku meminta Cici untuk mengulum penisku, karena aku sudah mendekati puncak. Cici mengulum sambil menggerakkan kepalanya ke atas-bawah dan kadang memutar. Dan sampailah puncak kenikmatan itu.
"Aauugghhrhh.. aku keluarhh..!" erangku sambil meremas rambut Cici dan memegangnya erat agar tidak lepas.
Cici terkejut karena semprotan spermaku yang kusemburkan air nikmat itu ke dalam mulutnya, yang membuatnya menelan sambil gelagapan.

Sisa spermaku menetes dari mulutnya.
"Kenapa dikeluarkan di mulutku Mas..?" Cici memprotes.
"Sama saja Sayang, kamu tadi kan begitu juga. Enak kan..?" aku menimpali sekenanya.
Semula ia terlihat jengkel tapi kemudian tersenyum, paham.

Jam 12 malam sudah. Satu sama. Cici melihat ke penisku dan heran.
"Lho kok jadi kecil dan pendek. Tadi besar sekali sampai mulutku nggak muat..?"
"Ya iya dong Sayang, kalau lagi bobok yang cuma 3 cm, tapi kalau bangun jadi tambah besar, hebat ya..!"
"Trus kalau mau bikin besar lagi, caranya gimana..?" Cici tanya sambil meremas-remas penisku.
"Kalau mau agak lama, ya gitu, diremas, diraba. Kalau mau cepet ya dikemut lagi."

Dan tanpa diminta, Cici segera mengemut batang penisku, yang kemudian memang langsung membesar pada ukuran penuhnya. Aku tidak mau ketinggalan, kubalikkan badanku sehingga kami mempraktekkan posisi 69. Cici sepertinya menjadi bangkit gairah dan melenguh-lenguh sambil mengulum batang penisku.

Setelah kami sama-sama penuh gelora dan napas kami telah tersengal-sengal penuh kenikmatan, Cici bertanya, "Gimana lanjutnya Mas..?"
"Kamu bener udah siap..? Kamu nggak nyesel nanti..?" kutanya Cici karena aku sebenarnya mendua, ingin menjaganya sekaligus ingin menuntaskan hubungan asmara kami.
"Aku kan sudah bilang. Aku siap untuk mempersembahkan keperawananku buat Mas. Jadi mulailah, gimana..?"

Mendengar jawaban ini, akal sehatku padam. Segera aku berlutut di antara selangkangannya. Kutempelkan batang penisku ke vaginanya. Menggesekkannya dan sedikit menekannya.
"Ouuch Mas.., enak sekali..! Terusin Mas..! Aahh..!" lenguhnya mulai merasakan kenikmatan.

"Cici, yang pertama ini agak sakit, tapi hanya sebentar. Kamu akan terbiasa dan mulai merasakan nikmatnya. Tahan ya..!" sambil kutelungkupi badannya yang mungil itu.
Kucium bibirnya dengan penuh nafsu dan kusedot kuat-kuat. Kucium dan kugigit-kecil puting susunya. Cici mendesah nikmat. Kucium lagi bibirnya kuat-kuat. Dan ketika itulah kutekan batang penisku masuk ke liang senggamanya. Cici memelukku erat terhenyak. Pastilah dia menahan sakit.

Setelah batang penisku masuk sepenuhnya, kubiarkan ia di dalam, diam. Terus kucium bibirnya sambil kubuat kedutan-kedutan kecil di kemaluanku. Cici ternyata melakukan refleks yang sama. Otot vaginanya juga membuat kedutan-kedutan kecil, yang semakin lama terasa seperti tarikan-tarikan halus, menyedot batang penisku, seolah meminta lebih dalam. Aku mulai mengayun-ayun pelan dan mulai kurasakan ujung kamaluanku menyentuh liang rahimnya. Oooh nikmat sekali. Inilah mengapa aku selalu lebih senang dengan wanita bertubuh mungil. Tubuh yang dapat memberiku kenikmatan lebih. Bersama Cici kenikmatan yang paling indah yang pernah aku rasakan.

Ayunanku mulai lebih lancar dan berirama. Cici sepertinya sudah tidak sakit lagi. Atau barangkali kenikmatan ini telah mengalahkan rasa sakitnya.
"Gimana Sayang, enak..?"
"Oouuh Mas.., terusin..! Lebih keras.., lebih cepat.. hegh.. ooh.. Mas nikmat sekali Sayang..!"
"Cici, nanti aku semprotkan maniku di dalam atau di luar..?"
"Terserah, apa pun yang membuat kita nikmath hegh..!"
"Kalau nanti kamu hamil gimana..?"
"Biarin, biarin, aauchh..!"

Kami bicara sambil menggoyang badan kami. Dengan refleknya Cici mengimbangi setiap sodokan dan goyanganku. Kalau aku cepat, dia pun mempercepat. Kalau aku melambat, dia pun begitu. Sambil menggoyang, kulumat bibirnya, kusedot dan kugigit-gigit kecil buah dadanya.

Belum lima menit kami mendayung lautan kenikmatan, Cici kelihatan mulai lebih liar. Goyangan pinggulnya menjadi lebih cepat dan tidak terkendali. Pelukannya menjadi lebih erat. Dan dia melenguh dengan hebat dan aku merasakan denyutan-denyutan otot vaginanya. Ayunan batang kemaluanku kubuat menjadi lebih kuat tapi tetap pelan untuk memberikan kenikmatan yang lebih. Dua, satu.

"Ooch.., Mas aku capek sekali, tapi mas belum ya..?"
"Kita istirahat dulu deh, nanti lagi..!"
"Jangan Mas, jangan lepaskan, kita teruskan, kupuaskan kamu, gimana pun..!"
Cici mulai menggerakkan pinggulnya. Ayunan batang kemaluanku kuteruskan. Agak tidak tega aku sebenarnya. Tapi Cici sepertinya agak memaksa. Jadi, sambil berpeluk dan berguling kami terus mengayun, mendayung kenikmantan. Orgasmeku yang kedua biasanya memang agak lama, kadang aku harus menunggu 10-20 menit.

Dan begitulah, Cici mulai melenguh kenikmatan, dia mulai mempercepat dayungan perahu mungilnya. Aku mengimbangi. Betapa nikmatnya. Dan rasa nikmat ini menjadi berlebih-lebih lagi, karena aku memberikan kenikmatan pada gadisku yang mungil, cantik dan menggairahkan ini.
"Hhegh.. Har.. Har.. oh Sayang, aku mau sampai lagi..! Oooh cepat.. cepat.. lebih keras..!" lenguhannya datang lagi bersamaan dengan urutan-urutan lembut pada batang penisku.
Aku menjadi semakin bernafsu. Cici mulai lemas. Benar-benar lemas.

"Mas, kamu belum juga ya Sayang..? Ayo dong Say..! Kasihanilah aku, sudah lemes banget nich..!" Cici mengiba dan memuncakkan birahiku.
Kogoyang dengan liar penisku dalam vaginanya, terus dan terus sampai akhirnya, "Cici, ough.. ach.. terimalah air maniku Say, nikmatilah siraman kenikmatanku.. Hegh..!"
Dan aku pun sampai pada pelabuhan kenikmatan yang kudambakan. Kusemprotkan maniku sejadinya. Walaupun maniku sudah habis, tapi kedutan kenikmatan terus kurasakan pada penisku, apalagi vagina Cici terus mengurutku.

Walaupun sudah orgasme, batang kemaluanku masih tetap tegang penuh. Tidak seperti ini biasanya. Kami berpelukan, berciuman. Kuelus dan kukemut susunya yang besar menantang itu. Beberapa saat sampai akhirnya kami benar-benar terkulai lemas. Habis tenaga kami. Basah kuyup badan kami oleh peluh kenikmatan.

Kutengok TV yang masih menyala tanpa ditonton dan tanpa suara. Buletin Malam RCTI. Waahh, berati sudah jam satu lebih. Lama sekali kami bercinta penuh gairah, nafsu dan sayang. Cici merebahkan kepalanya di dadaku. Sesaat kemudian, kami ke kamar mandi bersama-sama. Saling memandikan di bawah siraman air hangat yang membuat kami segar kembali. Kadang kami saling berpelukan sambil menggesekkan tubuh kami. Oohh.., nikmatnya dunia.

Kami kembali mengobrol dengan tubuh hanya berbalut handuk. Dari cara duduknya, Cici secara tidak sengaja mempertontonkan bukit surganya padaku, membuat batang penisku tetap tegak berdiri. Aku memesan makanan ringan, teh panas untuknya dan susu untukku sendiri. Cici menggoda, berjalan mendekatiku menyodorkan buah dadanya, memasukkan puting susunya ke mulutku. Tepat memang, karena aku duduk di tempat tidur.

"Susuku yang dua ini sudah kupersembahkan pada mas, nggak cukup ya..? Kok masih pesan susu ke Room Service. Susu siapa sih yang dipesan..?" godaan ini membuat Cici dan aku tertawa terbahak-bahak.
Kami bergulingan sambil berpelukan. Bahagia sekali rasanya.

Pesanan kami telah sampai dan kami menikmati dengan saling menyuapi. Ketika Cici mau berdiri, dia menyenggol gelas susu. Sehingga ada sedikit yang terciprat ke dadanya. Untung susu itu hangat saja. Cici mencari tissue, tapi kucegah. Kurebahkan dia di tempat tidur, kujilat susu yang ada di atas dadanya sambil kujilat puting susunya. Cici mengerang kenikmatan.
"Nakal kamu ya..!" katanya sambil bangkit dan mencubitku.

"Mas, kok burungnya bangun terus sih..? Aku sudah capek sekali, kamu masih mau lagi ya..?"
"Ya masih dong, tapi nanti saja. Kita bobok dulu yuk..!"
Akhirnya kami rebahan. Kubalikkan badannya membelakangiku. Mau tidak mau, batang penisku masuk juga ke selangkangannya. Tapi aku diam saja. Sesekali Cici mengurut batang penisku dengan vaginanya. Berkedut-kedut. Tanganku mengelus-elus buah dadanya. Kami mungkin sudah sangat lelah, sehingga tanpa terasa kami tertidur, dengan penisku berada dalam vaginanya. Tidur yang sangat nikmat.

Hari Sabtu, hari libur, hari malas. Aku biasa bangun jam 10 pagi. Tapi hari ini molor sampai jam 12. Kami bangun mandi berbenah sedikit untuk siap-siap jalan-jalan. Penisku tetap tegap dari tadi pagi, karena aku sangat menikmati asmara ini. Di depan Cici, kutelepon anak-anakku. Mereka bersama dengan baby sitter dan mama mereka. Kami mengobrol kurang lebih 30 menit. Aku senang, mereka pun senang. Aku bilang bahwa aku akan pulan hari Minggu siang, setelah mengantar Cici ke bandara, tentunya. Cici pun mengirim salam untuk mereka.

Ketulusan Cici mengirim salam pada anak-anakku membangkitkan gairahku yang tidak tertahankan. Kubuka celananya jeans-nya dan tanpa pemanasan kusenggamai Cici dari belakang sambil berdiri. Cici menanggapi dengan gelora membara pula. Vaginanya yang semula kering segera membasah membuat gesekan-gesekan kenikmatan kami menjadi menggila. Napas Cici tersengal-sengal. Goyangannya menjadi lebih liar, kadang maju mundur kadang memutar. Sekehendaknya Cici mencari kenikmatan di liang senggamanya. Goyanganku pun menjadi lebih cepat dan keras.

Tiba-tiba Cici membalikkan wajahnya, "Cium, Mas..!"
Langsung kucium bibirnya sambil kuremas-remas gemas buah dadanya yang besar itu. Ternyata ini adalah saat-saat puncak orgasmenya. Vaginanya meremas-remas batang penisku, berdenyut-denyut. Ini membuatku kesetanan. Kegenjot vaginanya keras-keras sampai tubuh Cici berguncang-guncang. Tidak lebih dari 5 menit, kusemburkan maniku dalam vaginanya. Luar biasa, cepat sekali. Setiap semprotan mani kusiramkan dengan sodokan-sodokan keras penuh kenikmatan. Banjirlah vaginanya dengan siraman air maniku.

Cici dan aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekeluar dari kamar mandi, dia memelukku erat sekali, menciumku mesra sekali.
"Mas, aku terima kamu apa adanya, rela aku jadi pendampingmu, apapun statusku. Itu tidak terlalu penting, aku sangat mencintaimu, juga sayang dan kasihan pada anak-anakmu. Tapi aku sadar, bagaimanapun aku tidak akan jadi ibu mereka. Udah deh, yuk kita jalan-jalan dulu..!"

Kami jalan-jalan di Ancol, mengunjungi semua tempat hiburan sampai malam hari. Malam Minggu yang melelahkan tapi juga sangat membahagiakan. Sampai akhirnya, kami mojok di pantai dekat kuburan Belanda, yang paling sepi.
"Waktu cepat sekali berlalu ya Mas..!" Cici membuka pembicaraan setelah beberapa saat kami berdiam dan lamunan kami berjalan entah kemana.
Yang jelas, aku hanya membayang-bayangkan, gimana kelanjutan hubungan ini.

"Begitulah Say.. Gimana kalau kamu menunda sehari lagi..?" tanyaku tanpa harap, sebab aku tahu ini tidak mungkin.
Cici hanya terdiam. Aku pindah ke jok belakangan diikuti Cici. Direbahkannya kepalanya di pangkuanku. Batang kemaluanku pun langsung menegang keras. Cici merasakannya dan langsung membuka celanaku.
"Mas, si Adik bangun lagi." sambil tangannya mengelus-elus batang dan lidahnya mulai menari di ujung penisku.
Aku tidak mau kalah, celananya kulepas sehingga aku dapat secara leluasa meraba, mengelus bulu-bulu halus di vaginanya.
"Heeggh, terusin Mas.. yang dalam..!" pintanya.

Jari tengahku pun mulai kumasukkan dalam liang senggamanya yang sudah sangat basah. Cici berkelojotan lebih liar, semantara aku sendiri merasakan penisku sudah waktunya mendapat perlakuan lanjutan.
"Cici, aku sudah nggak tahan..!" kataku sambil membimbingnya agar duduk di pangkuanku, menghadapku, sehingga kakinya dapat bertumpu di jok.
Dikocok-kocoknya penisku sambil kami berciuman dan kemudian dibimbingnya kemaluanku itu masih pada liang kenikmatannya. Pelan tapi pasti, amblaslah seluruh batang penisku. Aku dan Cici sama-sama tertahan ketika ujung penisku menyentuh pintu rahimnya.

Cici menggerakkan pinggulnya maju mundur, meskipun kami saling berpagutan. Merangsang sekali. Tidak tahan lagi aku untuk tidak melumat buah dadanya yang besar berayun-ayun ketika Cici bergerak ke atas-bawah. Cici menjadi lebih liar dan gerakannya menjadi lebih dahsyat.
"mas, remas susuku sekeras-kerasnya, aku sangat menikmatinya..! Please Mas..!" pintanya.
"Ntar sakit dong Ci, aku nggak.." jawabanku dipotongnya.
"Biarin, biarin.., aku sangat menikmatinya..! Siksalah aku dengan nikmatmu Mas..! Membuatku lebih nikmat hegh..!"
Aku baru sadar bahwa Cici tampaknya agak senang dengan sadism.

Kuremas keras susunya, kugigit agak keras karena takut menyakitinya. Cici menjadi lebih liar dan melenguh agak keras.
"Say, ough.. ough.. nikmatnya Say, aku keluar lagi, ouch ach.. ini nikmat sekali..!" dan Cici pun mengejang hebat.
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa Cici dapat seperti ini. Entah mengapa, aku justru menjadi sangat sulit untuk mencapai orgasme. Cici tampaknya menyadari hal ini.

"Say, nggak apa-apa kok, aku sungguh menikmatinya, gemasilah diriku sesukamu..!"
"Kita kembali ke hotel yuk Ci, malam sudah mulai larut..!"
Cici kelihatan agak bingung, karena aku tidak menyelesaikan puncak-puncak pendakian kenikmatan itu.

"Say, kulayani kamu semalaman ini, kita nggak usah tidur, ya..?" pinta Cici ketika kami memasuki pintu kamar.
Aku mengiyakan saja. Cici memesan berbagai makanan kecil dan biasa, susu kesukaanku yang dipesan Cici sampai 3 gelas. Room Service mungkin heran, ya..? Kami sempat ngobrol sebentar sampai Cici memintaku untuk melanjutkan puncak-puncak pendakian kenikmatan yang sempat teputus.

Cici langsung membuka seluruh pakaiannya dan tubuh mungil indah itu berdiri tegak di hadapanku.
"Mas, kamu diam saja. Aku akan melayanimu habis-habisan..!"
Dan sambil berkata begitu, Cici membuka bajuku pelan-pelan sambil mencium dan menjilati dadaku. Ooh nikmat sekali. Lalu giliran celanaku dibukanya, sambil menjilati dan menciumi penisku yang sudah tegang memerah. Aku seperti majikan yang dilayani oleh seorang dayang. Pahaku, kakiku, pantatku, semua dielus, dicium dan dijilat. Aku tidak tahu Cici belajar dari mana, atau barangkali naluri saja.

Dengan posisiku masih duduk di kursi, Cici membalikkan badan, duduk di pangkuanku dan memasukkan penisku ke vaginanya. Gerakan-gerakan lembut dilakukannya. Tubuhnya menggeliat-geliat karena kuremas lembut buah dadanya sambil kuciumi dan kujilat punggungnya. Beberapa saat kemudian, Cici melenguh dan mengejang lagi. Dan lagi denyutan-denyutan itu kurasakan.
"Hugh Say, kenapa jadi aku yang sampai duluan..? Nikmat sekali rasanya, mas mau kuapakan supaya sampai..?" semua ini dikatakan Cici sambil terus menggoyang pinggulnya.

Aku mengajaknya naik ke ranjang. Kuarahkan dia sehingga dia siap dengan posisi doggy style. Cici menurut saja. Kutusukkan batang penisku amblas dalam vaginanya dan kogoyang dengan keras dan cepat. Lama sekali kunikmati posisi ini, karena dari belakang aku dapat menikmat kemolekan tubuhnya dan meremasi buah dadanya. Akhirnya, aku tidak kuasa lagi menahan tekanan hebat dalam penisku, karena remasan-remasan vagina yang tidak kunjung habis.

"Ci.., aku mau keluar niich..! Tahan ya Sayang, jangan sampai lepash..!" dan kogoyang pantatku keras-keras sampai akhirnya, "Aachh..!" teriakku dengan keras menyertai semprotan-semprotan maniku yang membajiri liang vagina Cici.
"Say, goyang terus jangan berhenti..! Aku juga mau sampai lagi, ooh..!" pinta Cici.
Aku yang sebelumnya mulai melemas kembali menggoyang kemaluanku dengan lebih cepat dan keras.

Cici akhirnya menjerit, "Saych..!" dan denyut-denyut kenikmatan itu kembali mengurut-urut penisku. Kami rebah kehabisan tenaga. Badan kami basah oleh peluh. Pendakian kami akhirnya sampai juga pada puncak kenikmatan bersama-sama. Sambil masih berpelukan, kami saling meraba daerah-daerah kenikmatan kami. Sampai akhirnya kami betul-betul lemas. Tidak berdaya.

"Yuk berendam yuk..! Biar nggak capek.." kuajak Cici ke kamar mandi untuk berendam air hangat.
Setelah air penuh. Kami pun berendam, di ujung bath tub saling berhadapan. Kakiku kadang-kadang usil untuk mempermainkan selangkangan Cici, yang membuatnya sesekali memejamkan mata. Pastilah nikmat.

"Mas, tadi waktu kamu dari belakang, jari dan burung mas sesekali menyentuh lubang duburku, kok enak yach..?" Cici membuka pembicaraan yang mengejutkanku.
Mungkin secara tidak sadar aku telah menyentuh duburnya tadi, karena gerakanku yang liar penisku seringkali lepas. Dan aku pun seringkali sambil terpejam meremas-remas pantatnya yang aduhai, indah dan merangsang.
"Mas mau nggak melakukannya lagi..?" tanya Cici.
Aku mengiyakan, karena aku terbayang adegan-adegan yang pernah kutonton di BF. Mungkin Cici tipe wanita yang suka coba-coba, meski kadang itu menyakitkan dirinya.

Setelah mandi dan beristirahat entah berapa lama, kami memulai akivitas lagi. Seperti janjiku, aku meminta Cici untuk menungging agar pantatnya lebih terbuka. Kuelus lembut pelan-pelan lubang pantatnya. Kuciumi dan lalu kujilati. Entah apa yang kulakukan ini, karena aku belum pernah melakukannya. Terpikir olehku, mungkin ini akan menjadi anal seks yang pertama. Cici sudah memberikan keperawanannya padaku, sebanarnya itu sudah luar biasa bagiku. Tapi ini, tampaknya akan menjadi lebih dahsyat lagi.

Cici tampak sangat menikmati perlakuanku. Desahannya sangat merangsang, membangkitkan gairahku yang makin membara. Batang penisku sudah menjadi sangat tegang. Cici memegangnya dan, ya ampun.., dia mengarahkan batang kemaluanku ke anusnya. Seperti sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi, kugesek-gesekkan penisku ke anusnya.

"Ooch Mas, enak sekali Say..! Aach..!" kata Cici sambil menggerakkan pantatnya, seolah menginginkan kenikmatan di seluruh permukaannya.
Bayanganku pada adegan-adegan BF menguasai pikiran dan nafsuku.
"Ci, boleh nggak kumasukkan kontolku ke duburmu..?"
Cici tampak terkejut, tentu dia tidak mengira.

"Memangnya nggak jijik..?"
"Nggak tahu deh, aku hanya ingin mencobanya." jawabku sedikit bohon.
Padahal aku sangat ingin mencobanya karena adegan BF itu. Cici mengatakan terserah saja. Akhirnya kucoba juga. Sangat sulit, karena Cici kesakitan dan selalu menghindarkan lubang pantatnya.

"Ci, jangan bergoyang terus..! Susah nih, pasrahlah..!" pintaku padanya.
Entah dapat ilham dari mana. Akhirnya kupaksa Cici telungkup dan kutindih pantatnya, sehingga ia tidak akan dapat banyak bergerak. Kululuri penisku dengan ludahku sehingga menjadi lebih licin, seperti di BF. Dengan agak memaksa dan penuh nafsu, kutekan batang penisku masuk ke anusnya.
"Mas, sakit..! Stop..! Ach..!" Cici memekik kesakitan.
Tapi panisku sudah amblas dalam anusnya. Aku terdiam. Cici kadang mengejangkan lubang anusnya, sehingga memberiku kenikmatan. Cici masih telungkup menutup wajahnya dengan bantal.

"Kalau memang enak, terusin..! Tapi pelan-pelan..!" katanya kemudian.
Aku pun segera mengayun sepelan mungkin. Ooh, nikmat sekali rasanya. Belum pernah kunikmati kenikmatan seperti ini. Mungkin karena Cici menjadi lebih rileks, sodokanku pun menjadi lebih lancar. Kuangkat pantat Cici sehingga aku dapat menyusupkan tanganku, agar dapat meraba vaginanya. Cici mengeliat-geliat. Tampaknya dia sudah mulai menikmati. Vaginanya menjadi lebih basah. Desahannya pun terus terdengar. Aku menjadi semakin menikmati pengalaman baru ini. Kenikmatan puncak yang diberikan oleh gadisku, yang sangat mencintaiku.

Jari tengahku kumasukkan dalam lubang vaginanya. Cici sangat menikmatinya dan vaginanya pun menjadi basah sekali.
"Mas, dua jari supaya lebih terasa..!"
Maka kumasukkan jari telunjukku dalam lubang nikmat itu. Cici menjadi lebih gila. Goyangannya menjadi semakin hebat, sehingga aku tidak perlu menggoyang, karena tanganku harus menjangkau lubang nikmatnya itu.

"Hacch.. Mas.. aku mau sampai Mas..! Ochh Mas.. Aach..!" tinggi lenguhannya dan banjirlah vaginanya.
Aku menjadi lebih bersemangat menggenjot anusnya dan aku pun tidak dapat menahan laju air maniku. Cret.. cret.. cret.. kutumpahkan air nikmatku dalam anusnya dengan denyut-denyut kenikmatan yang tiada taranya.

Kami ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah itu. Cici mencegahku untuk mencuci penisku sendiri. Cici memandikanku dengan gosokan-gosokan yang lembut. Aku sungguh seperti seorang majikan yang dilayani seorang dayang. Belum pernah aku mengalami seperti ini. Tidak terasa, hari sudah pagi. Kami harus bersiap-siap karena jam 10:00 Cici harus ke bandara.

Akhirnya kuantar Cici ke bandara. Air mata Cici membasahi pipinya. Kami berpelukan. Ciuman kami pun tidak tertahankan. Pandangan orang-orang di sekitar kami pun terarah pada sepasang manusia. Kami tidak menghiraukannya. Cici harus kembali ke M. Sesak rasanya dada ini. Tapi kami saling berjanji akan menjaga cinta kami.

Dua malam yang sangat melelahkan dan membahagiakan telah lewat. Kami akan bertemu kembali. Cici pasti akan pulang ke Jakarta lagi. Ternyata, Cici lagi tidak masa subur jadi nggak hamil.
Pada saat subur aku ppakai kondom, tapi setahun kemudian kami mendambakan anak buah cinta kami.


TAMAT

Gadis pemijat



Cerita ini fiksi, nama dan tempat hanya bayangan penulis.
Sabtu awal bulan, di pagi menjelang siang hari tepatnya jam 10:30 yang cerah, aku sudah duduk di rumah makan cepat saji yang cukup populer di Jakarta. Setelah memesan makanan, kupilih tempat duduk dekat kaca, agar dapat melihat situasi di luar. Dari pantulan cermin aku melihat di belakangku ada pria dan wanita. Yang pria sedang membaca surat kabar dengan posisi mengahadap kaca di sampingnya sedangkan wanitanya melahap makanan yang tersaji di hadapannya sehingga tidak ada suara, hanya suara musik yang terdengar sayup-sayup.

Karena aku nggak biasa sarapan pagi, jadi sarapannya tidak bisa cepat, sedikit-sedikit yang penting masuk. Nampak di belakangku mulai ada pembicaraan, semakin lama semakin keras. Oh, ternyata lagi ada pertengkaran, namun suaranya tidak terlalu keras. Bagus juga idenya kalau bertengkar cari tempat di luar rumah. Si wanita cemburu terhadap pasangannya, namum disanggah oleh si pria. Dia tak mungkin berseligkuh dikarenakan semua penghasilannya sudah diberikan padanya.

Tiba-tiba kulihat di luar ada seorang wanita berjalan dengan cepat sambil membawa tas plastik merah. Sepertinya kenal. Aku ingat-ingat. Oh iya, itukan Mbak Indah. Kulihat jam menunjukkan jam 11:30, berarti mulai berdatangan WP di depan rumah makan ini, tetapi ini masih yang juniornya alias yang baru lulus training. Aku sudah tidak memfokuskan ke pembicaraan orang di belakangku. Tak lama sepeda motor berpenumpang melintas dan menurunkan penumpangnya tepat di belakang kendaraanku yang kuparkir di seberang rumah makan dan hanya tiga blok dari sebuah panti pijat tradisional (Papitra). Dia turun dan memberikan uang. Oh ternyata naik ojek, itu kan Mbak Anita. Saat Mbak Anna masuk, sebuah bajaj berhenti lagi di belakang kendaraanku. Setelah bajaj berlalu tampak Mbak Ayu, dengan cepat melangkah masuk. Lama kelamaan parkir mulai penuh di sekitar Papitra, dan banyak pengemudi masuk ke situ. Nampak roda kehidupan Papitra mulai berputar.

Tanpa terasa suasana rumah makan mulai ramai. Pengunjung sudah bergantian keluar-masuk. Makananku pun sudah mulai habis. Aku pesan makanan penutup, sambil tidak sedikitpun membuang pandanganku ke arah sekitar mobilku. Bukannya takut kehilangan mobilku, tetapi di situlah rata-rata para WP turun dari kendaraan yang mengangkut mereka - mungkin malu dengan "pengantar"nya bahwa mereka bekerja di Papitra, sedangkan yang naik bis pasti berjalan kaki untuk mencapai tempat bekerjanya.

Hari semakin siang, sudah menunjukkan jam 13:00. Wp masih berdatangan. Ada yang muda dan kecil, rata-rata mereka menggunakan pakaian serba ketat atau hanya bawahannya saja yang ketat, nanti setelah masuk mereka akan menggunakan pakaian dinasnya yang setiap hari berganti warna tetapi dengan model yang sama, mempunyai bordiran nama di dada kanan sedangkan rok mininya ditulis nama WP dengan spidol di bagian dalam lipatan pinggang. Nah jam segini yang datang biasanya para senior-senior. Ada yang keluar dari taksi sambil bicara dengan HP-nya. Begitu taksi yang menutupi pandanganku jalan, baru aku tahu kalau itu Mbak Febby. Ada yang jalan kaki tetapi sambil bicara juga dengan HP-nya, kalau nggak salah ini Mbak Anna, dari penampilan mereka rata-rata HP yang digunakan keluaran terbaru.

Tidak berapa lama ada seorang wanita berpakaian ungu muda keluar dari taksi. Begitu taksi pergi, dia jalan menuju ke Papitra. Siapa yah? orang barukah? kataku dalam hati sambil menyentuh daerah antara hidung dan bibir atas dengan telunjuk kiriku - rasa penasaran dan petualanganku mulai tumbuh - dari penglihatanku umurnya kurang lebih sekitar 30 tahun. Yang menarik adalah pinggulnya cukup besar. Bila berjalan seperti bebek, megal megol, seperti orang hamil (???), apa mungkin orang hamil bekerja di Papitra?.

Didorong rasa ingin tahu, aku menelpon ke Papitra di depan rumah makan itu.
"Hallo selamat siang," suara resepsionis.
"Siang Mbak Ani," jawabku.
"Mau pesan, Pak Budi?" katanya, masih ingat namaku. Mana mungkin lupa, khan setiap datang selalu diberi uang tip. (Hati-hati ada pengganti Mbak Ani, yang setiap mengembalikan uang jasa pijat selalu mengatakan kembaliannya kurang karena nggak ada uang kecil. Dia hanya menyediakan uang terkecil 10.000,- jadi di bawah nilai ini tidak akan dikembalikan - "pemerasan terselubung" alias tip maksa. Aku kalau bertemu dengan orang ini, selalu aku membayar lewat WP, agar kembaliannya tidak jatuh ke tangannya. Lebih baik jatuh ke tangan WP - khan dia yang "memeras").

"Mbak Ani, yang barusan baru masuk menggunakan baju ungu siapa sih?" tanyaku.
"Oh itu Mbak Desi," jawabnya.
"Sepertinya kok lagi hamil, Mbak?" tanyaku sambil menebak.
"Emang bener, Pak," jawabnya.
"Mbak Ani, sorry aku nanyanya agak-agak nih, kalau lagi hamil tugas, berarti hanya mijat dong?" tanyaku mendesak.
"Dalam kamar siapa yang tahu Pak?" jawabnya diplomatis, benar juga.
"Sudah ada yang pesan?" tanyaku, jadi ingin coba, karena rasa keingintahuanku.
"Belum, Pak Budi mau pesan?"
"Iya deh."
"Untuk jam berapa?"
"Hmmm," mikir dikit, dia baru sampai, butuh istirahat, waktu makan siang sudah lewat, yah 30 menit cukup lah.
"Setengah jam lagi deh Mbak," jawabku.

Empat puluh lima menit kemudian aku sudah tanpa baju hanya menggunakan CD dengan isi sudah pada posisi. Tidur telungkup menghadap tembok di kamar lantai tiga ukuran 2x3 dengan penyejuk ruangan. Tak lama tirai dibuka dan ditutup kembali.

"Selamat siang Pak," sapanya.
"Siang," jawabku sambil menolehkan muka ke arah atas, tetapi tetap tidur telungkup.
"Mau minum apa?" tanyanya, sambil meletakkan barang bawaannya, handuk, sabun, sprei, dan cairan pelicin untuk pijat di atas satu-satunya sofa yang ada di ruang itu.
"Air mineral nggak dingin," jawabku. Dia keluar dan nggak lama membawa yang kuminta. Dia tidak menanyakan pijat berapa jam, karena aku berada di ruang VIP yang mempunyai waktu minimal satu setengah jam.

Terdengar dia melepaskan seragam dinasnya (padahal suhu ruang cukup dingin). Menutupkan selembar handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.

"Sebentar ya Pak, mau ke toilet," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat.
Saat kembali dia mulai memijat kembali, mungkin terlalu lama berdiri saat memijat tadi, sehingga dia naik ke tempat tidur dan memijat kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi. Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat punggungku. Terasa pahanya dibungkus dengan celana ketat, saat bersentuhan dengan pahaku.

"Kamu nggak pernah diisengin sama tamu, Mbak?" tanyaku.
"Itu sih sering Pak, santapan setiap hari!" katanya.
"Yang paling nyebelin seperti apa Mbak?" tanyaku.
"Belum lama ini ada tamu, saat lagi nafsu dia bilang, Mbak ngentot yuk? aku jawab aja, sama siapa Pak? dia jawab ya sama kamu, kirain sama kambing kataku, ngomongnya kasar banget," jawabnya.
Mungkin ada benarnya kata tukang gado-gado langgananku di blok M. Dia mengatakan bahwa kelemahan wanita ada di telinga. Artinya kalau dia disanjung, diajak bicara yang indah-indah, pasti akan tunduk. Jadi bicaralah yang baik dengan wanita siapapun dia, pasti kalau kamu minta sesuatu dengannya akan diberikan.
"Maaf Pak, saya tinggal ke toilet lagi," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat, membuyarkan lamunanku.

Nggak lama dia meneruskan pijatan yang belum selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia berkata.
"Pakai krim nggak, Pak?" tanyanya.
"He em," kataku.
"Maaf Pak," katanya sambil melipat CD-ku, menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan menutup sisi CD dengan handuk, tetapi.. "Tolong dilepas aja Mbak," kataku. Dia menarik handuk dan melepaskan CD-ku. Nah telanjang deh aku sekarang. Dia mulai meratakan krim di seluruh permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa menit kemudian...

"Sebentar ya Pak, mau ke toilet lagi," ijinnya untuk ke tiga kalinya.
"Ya" jawabku singkat, tanpa protes, karena aku memaklumi, karena saat hamil kandung kemih tertekan oleh kandungan, atau ada yang lain yang aku nggak tahu.
"Yah beginlah Pak kalau kondisinya seperti ini," katanya saat masuk ke kamar.
"Aku maklum kok, Mbak," jawabku.

Dia mulai memijat kaki satunya lagi. Setelah selesai dia mengeringkan krim dengan handuk, karena kakiku cukup banyak bulunya dia menaburi bedak bayi di seluruh permukaan ke dua kaki (kalau dilihat nggak ubahnya seperti bayi yang habis mandi terus dibedaki), sehingga minyaknya bergabung dengan bedak, kemudian di gosok dengan handuk satunya lagi, hasilnya lumayan kering.

Kemudian dia naik ke tempat tidur (biasanya WP bisa melakukannya dengan berdiri, mungkin karena beratnya menahan perut sehingga lebih baik sambil duduk di tempat tidur guna mengistirahatkan kedua kakinya). Wanita lagi hamil mana ada yang memakai rok mini, biasanya selalu serba longgar kan, kecuali wanita yang saat ini ada di atas pantatku.

Karena nggak ada tempat lagi untuk duduk, akhirnya dia mengangkangiku sehingga dia menduduki pantatku (asli lho, duduk plek, soalnya berat banget) dengan berlapiskan handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha bagian dalamnya yang licin dan dingin. Tetapi anehnya kok sudah tidak memakai celana ketatnya lagi. Setelah punggung rata dengan krim dia mulai memijat. Posisi memijat adalah maju mundur, mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena gaya pijat dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia bergeser tepatnya terpeleset ke arah pangkal paha, kan ada sedikit bekas krim serta berat tubuhnya yang lumayan berat.

Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku lagi. Akan tetapi tanpa handuk hanya beralaskan roknya. Sewaktu gaya maju - saat mengurut dari pinggang ke arah pundak - dia terpeleset lagi. Sewaktu mengembalikan pantatnya ke pantatku sudah tanpa handuk, sebab irama pijatannya sudah agak cepat, jadi kalau sebentar-sebentar ngurusin handuk nggak selesai-selesai mijatnya.

Semakin cepat pijatannya, yang kurasakan bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada sesuatu yang sangat kasar. Ternyata roknya sudah tidak menjadi alas untuk duduk. Iseng, aku menoleh ke belakang bawah.

"Sudah, nggak usah lihat-lihat," kata Mbak Desi, tetapi sekilas aku dapat melihat dia jongkok dengan roknya sudah di pinggang sementara di atas pantatku ada daging yang cukup tebal tanpa bulu (dicukur) nggak seperti bagasi mobilku, lebih tepatnya nonong. Pantes pahanya kok licin, nggak pakai celana!.

Aku ikutin perintahnya, prajurit muda lebih mengandalkan tenaga, berhadapan langsung, dan menekan sebaliknya prajurit tua lebih mengandalkan pikiran, menghindari kontak langsung, cenderung mengikuti (bukan mengalah), hasilnya tak jauh beda dengan yang muda hebatnya lagi tanpa keluar tenaga.

"Kenapa kok nggak pakai CD sih? Kamu khan lagi hamil," tanyaku.
"Habis capek tiap kencing harus melorotin celana ketat. Tadi sewaktu keluar yang ke tiga udah kebelet banget jadi pas masuk nggak ketahan keluar. Yah sudah basah, mau pakai cadangan ada di lemari bawah, naik turun kan capek Mas. Tadi kencing pertama aja udah nggak bisa jongkok," jawabnya panjang lebar. Perhatikan, panggilan sudah berubah. Artinya dia sudah mulai mengenal. Pantes saat kontak dengan pahanya terasa dingin kemungkinan dari air saat membasuh setelah kencing.

"Memangnya kenapa? Khan ada toliet jongkok," kataku.
"Toliet khan jorok Mas bekas orang banyak, jadi kencingnya sambil berdiri tetapi kakinya dibuka lebar biar nggak kena," jawabnya.
"Kamu nggak takut kerja tanpa CD?" kataku.
"Aku tadi diberi tahu sama Mbak Anita, kalau Mas orangnya nggak reseh," katanya.
Ha ha, belum tahu dia, jawabku dalam hati. Mungkin pergantian panggilan tadi berubah setelah ada sekilas info dari Mbak Anita. Setelah selesai memijat punggung, dia mulai mengeringkan krim dengan cara seperti tadi.

"Mas balik," katanya.
Aku segera membalikkan badanku, sambil kulihat wajahnya, dia tidak melihatku, tetapi melihat kemaluanku yang masih "bobo siang" sambil menutupnya dengan handuk kecil.
"kok dicukur Mas?" tanyanya setelah melihat burung yang tanpa bulu.
"Kamu sendiri kenapa kok dicukur?" tanyaku.
"Kalau ditanya dijawab dulu dong Mas!" katanya.
"Yah biar bersih aja," jawabku.
"Apa nggak geli Mas dicukur gitu?" tanyanya.
"Eh, kamu nanya terus kapan jawabnya?" tanyaku. Dianya tersenyum. Bibir bagian bawahnya (yang di wajah yah) lumayan tebal ada belahan di bagian tengahnya. Bibirnya dibalut pewarna berwarna pink, kontras dengan kulit putihnya. Matanya bulat sekali.
"Yah biar bersih juga. Nanti kalau sewaktu-waktu melahirkan, nggak buru-buru mencukurnya. Mas aku ke toilet dulu yah?" jawabnya sembari ijin yang ke empat kalinya.

Kalau melihat posisi kandungannya sih udah di bawah, nampak sudah waktunya. Dia masuk ke kamar, dan naik ke atas tempat tidur, meminggirkan ke dua kakiku, sehingga bisa duduk di pinggi tempat tidur.

"Berapa usia kandunganmu?" tanyaku.
"Tujuh bulan lewat, Mas," jawabnya.
"Suamimu kok tega, udah seperti ini kok masih disuruh kerja," tanyaku.
"Lebih tega lagi Mas, dia tidak mengakui ini hasilnya, dan pergi begitu saja," jawabnya sambil menunduk dan terus memijat.
"kok nggak di batalin aja?" tanyaku lagi.
"Biarin deh Mas, umurku sudah semakin tua, nanti nggak ada yang ngurus aku. Biarin deh aku usahakan sendiri," jawabnya kalem bersamaan dengan selesainya mengeringkan salah satu kaki. Setelah kering dia menggosok betisku yang berbulu dengan handuk, kemudian mengangkangi kakiku tadi dan menggosok pahaku dengan handuk, dan terasa bulu betisku terasa beradu dengan sesuatu yang kasar. Aku pura-pura tidak tahu dan kuperhatikan wajahnya tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi di balik handuk yang menutupi kemaluanku, seperti ada yang sedang mendirikan tenda.

Dia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan yang sama dengan kakiku yang sebelah tadi. Juga acara gesek-menggesek, sehingga makin sempurnalah rubuhnya tenda. Yah, dalam posisi terlentang kalau lagi "konak" nggak mungkin tegak sembilan puluh derajat, yang ada juga posisi jam sepuluh kurang sepuluh menit. Setelah selesai dengan kaki, diturunkan handuk kecil hingga menutupi kemaluanku saja dan...

"Perutnya dipijat Mas?" tanyanya.
"Terserah," jawabku. Repot juga dia akan memijatnya, kalau sambil berdiri dia akan capek kalau dari samping membutuhkan tenaga yang lumayan banyak untuk menekan badanku. Yah terpaksa dia mengangkangi kemaluanku yang hanya dilapisi handuk kecil. Mulai memijat dari arah perut ke atas melebar ke sekitar pundak. Perlahan-lahan, semakin lama irama agak dipercepat.

Aku tidak tahu apakah percepatannya disebabkan prosedur pijatnya, ataukah ganjalan di kemaluannya yang semakin keras dan berdenyut-denyut. Disengaja atau tidak posisi batang kemaluanku berada di sela-sela bibir kemaluannya, hanya dipisahkan oleh handuk.

"Mas, kata Mbak Anita sama Mbak Anna, kalau ke sini nggak pernah main, kenapa sih?" tanyanya.
"Yang pentingkan puas Mbak, nggak main aja puas kok," jawabku.
"Kalau sekarang aku ingin main sama Mas, gimana?" tanyanya.
Sewaktu berkata demikian, handuk sudah hilang sebagai pembatas. Hilangnya bukan ditarik tetapi terdorong oleh goyangan pantatnya. Jadi antara batangku dan bibirnya melekat.
"Berapa tips-nya?" tanyaku. Dia sudah menggoyangkan pinggulnya, kesepakatan belum terjadi pekerjaan sudah dimulai. Sebagai gambaran, bibir bawahnya lumayan tebal dan sudah cukup basah untuk penetrasi, maklum hamil (orang hamil lebih cepat basahnya karena kelenjar yang memproduksi lendir tertekan oleh kandungan).
"Seperti yang Mas berikan dengan Mbak Anita atau Mbak Anna," katanya. Wah dilarang dumping harga rupanya di sini.
"Ya, sudah," kataku. Begitu selesai aku bicara, bersamaan dengan mulai masuknya kemaluanku ke dalam kemaluannya. Ups, licin sekali (jadi ingat main bola saat kecil di tanah lapang dari tanah liat, nggak pernah membawa bola jauh, selalu terpeleset apalagi bila bertemu lawan pasti jatuh) tapi agak longgar, mungkin karena tekanan kandungan, dan ada sesuatu yang menyentuh di ujung kemaluan seperti ada benjolan di bagian dalam kemaluannya. Ternyata mulut rahimnya juga sudah turun.

Dia tidak melakukan gerakan naik turun, mungkin sudah terlalu lelah, jadi hanya bergoyang-goyang, tetapi goyangannya semakin lama semakin merunduk, bak padi yang semakin berisi, di kepalanya semakin berat, terdongak ke belakang, sementara pahanya terbuka sangat lebar mengingat perut besarnya. Dia berusaha agar klitorisnya bergesekan dengan bulu kemaluanku yang tumbuh kasar di atas batang kemaluanku. Beberapa menit kemudian dia membalikkan badannya tanpa melepas batangku yang tertanam. Sekarang dia menghadap ke kakiku. Gerakan yang sama dia lakukan, tanpa naik turun, tetapi menekan serta menggesek lubang anusnya yang agak keluar, bukan ambein lho, tetapi itu tekanan kandungan, sehingga lapisan bagian dalam anus yang lembut tergesek oleh bulu kemaluanku. Dia tidak mengeluarkan suara, tepatnya menahan lenguhannya, agar tak terdengar di luar kamar. Hanya deru nafasnya yang berfrekuensi tinggi, isap buang isap buang, semua dilakukan melalui hidung. Mungkin mulutnya dikunci dengan menggigit bibir bawahnya takut tak sengaja keluar suara.

Akhirnya tangannya meremas pergelangan kakiku dan mengedan. Terasa sekali denyutan lubang anusnya. Tidak berapa lama aku pun keluar juga. Dia diam sejenak menikmati semburan spermaku. Setelah selesai, sudah tidak ada semburan dia mengangkat pantatnya, dan saat batangku telepas dari lubangnya, dia berusaha menjepit labia minoranya dengan jarinya tetapi tetap aja ada yang berjatuhan spermaku yang agak kental di kemaluanku.

"Banyak banget sih Mas?" tanyanya, sambil membersihkan vaginanya yang tembem banget dan nonong, tetapi masih mengangkang di atas kemaluanku.
"Iya udah lama nih nggak dikeluarin," jawabku, sambil membersihkan spermaku yang berjatuhan.
"Kamu suka nyabu?" tanyanya, sambil turun dari tempat tidur dengan sangat hati-hati.
"Suka nyapu rumah, nyapu halaman," jawabku. Dia tersenyum.
"Maksudku narkoba," katanya.
"Nggak, kenapa sih?" kataku.
"Pantes. Udah keluar kok nggak mengecil, masih besar dan keras," katanya.
"Sok tahu" kataku.
"Eh iya lho Mas, aku punya tamu dia habis nyabu (sekarang sudah jadi trend memakai narkoba di kamar Papitra, kadang bersama WP-nya) aduh setengah mati aku ngeluarin pejunya," katanya polos. Wah habis "O" ngomongnya udah nggak terkontrol nih sih Mbak. Saat aku bangun memang sih kemaluanku masih keras dan berdiri hanya sembilan puluh derajat ditunjang dengan beberapa urat yang menonjol.

"Terima kasih yah, Mbak. Kamu lagi hamil gini, semua tamu kamu perlakukan seperti ini semua?" tanyaku.
"Yah nggak Mas, kebetulan aku udah lama nggak ngewe, terus lihat punya Mas keras banget, udah gitu aku dapat info dari Mbak-Mbak kalau kamu kalau ke sini nggak pernah main, tetapi bayar penuh, artinya khan Mas orang bersih."
"Oh, jadi di kamar tunggu WP, banyak saling tukar informasi yah?"
"Harus itu, biar kita nggak salah, yang lebih penting lagi ini," katanya sambil menunjukkan leleran sperma yang meleleh keluar dari vaginanya.
"Maksudmu?" kataku nggak mudeng.
"Aku taruhan sama Mbak-Mbak yang pernah sama Mas, lumayan sepuluh ribuan sepuluh orang, ini sebagai bukti bahwa kamu main sama aku," katanya.
Ha, kaget aku. Wah gila aku dijadikan obyek judi, dasar.
"Sebentar Mas, aku ke toilet," katanya. Aduh bukan tamunya yang didulukan, malah dia yang duluan.

Nggak lama dia masuk, dan...
"Nih aku bawain handuk yang baru," katanya dengan wajah yang kelihatan seneng banget.
"Katanya nggak kuat naik turun, kok sudah bawa handuk bersih dari bawah?" tanyaku.
"Khan minta tolong sama room boy," katanya.
"Nah tadi ngambil CD minta tolong aja sama dia," kataku.
"Nggak enak lagi Mas nanti dikira macam-macam, lagian khan tadi belum ada modal buat nyuruh room boy," katanya.
"Maksudnya?" tanyaku lagi.
"Khan menang taruhan, yah bagi-bagi rejeki. Aku kasih uang room boy-nya untuk ambil handuk, mereka kalau nggak ada uangnya nggak gerak Mas!" katanya. Aku geleng-geleng.
"Iya setali tiga uang sama kamu, kalau nggak ada uang juga nggak goyang," kataku tapi dalam hati.
"Mbak Desi, kok kamu duluan sih ke kamar mandi?" tanyaku sambil memakai kimono dan membawa handuk serta sabun.
"Aku tadi buru-buru ke sebelah ngasih tahu sama Mbak Anita, kalau dia kalah taruhan dengan menunjukan sperma Mas yang ngucur dari memekku," katanya. Waduh udah kotor nih mulut Mbak Desi, mungkin terlalu gembira dengan kemenangannya dan "O"-nya.

Setelah mandi, berpakaian dan memberikan tips, aku bilang, "Kamu dapat tiga aku Cuma satu lho, Mbak!" kataku.
"Iya deh, lain kali aku kasih bonus," katanya, tahu maksudku kalau dia dapat tips, menang taruhan dan "O"-nya.
"Janji yah, makasih Mbak," kataku, sambil aku cium pipi kiri dan kanannya.

Saat turun ke depan resepsionis Mbak Desi mengikuti di sampingku, guna memberi tahu ke resepsionis berapa jam dan minum apa.

Aku bayar tagihanku dan tak lupa kuberikan lebihan buat Mbak Ani.
"Terima Kasih Pak," katanya. Saat aku membalikkan badan untuk menuju pintu keluar, sekilas aku melihat beberapa pasang mata di ruang tamu memandang bergantian antara aku dan Mbak Desi. Apa ada yang aneh? Oh mungkin lihat perutnya Mbak Desi yang nonong sementara tamunya terlihat "segar" sekali.


TAMAT

Gadis Metropolis



Aku adalah seorang pria yang sama sekali buta tentang seks. Aku tidak pernah sama sekali berhubungan serius dengan seorang wanita. Aku kuliah di sebuah universitas swasta di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku tinggal di sebuah rumah di mana rumahku dijadikan kost-kostan putri oleh orang tuaku sementara mereka bekerja di luar kota.

Pada suatu ketika, saat tahun ajaran baru di rumahku kedatangan seorang mahasiswi baru yang berasal dari kota metropolis, wajah manis, dadanya sekal dan pinggulnya sangat montok. Setelah kami berkenalan kutahu namanya Sonya dan saat pertama kali mengenalnya kesannya dia adalah seorang anak yang lugu.

Ternyata di luar dugaanku, saat aku pulang dari kampus sehabis ada kegiatan, kulihat TV masih menyala dan tidak ada seorangpun di sana. Ketika TV akan kumatikan tiba-tiba Sonya keluar dengan mengenakan pakaian yang sangat minim. Dadanya yang sangat montok sedikit terlihat dan pahanya yang mulus sangat menantang membuat darahku bergejolak.
Ketika kutanya padanya",Sonya, kamu kok belum tidur..?".
Dia menjawab, "Belum Mas, belum ngantuk lagian harinya panas sekali".
"Lho anak-anak yang lain kemana..?", tanyaku.
"Keluar Mas, nggak tau kemana".
"Kamu kok nggak ikut..?", tanyaku lagi.
"Nggak Mas tadi ditinggal anak-anak".

Aku tidak bertanya lebih lanjut kemudian kurebahkan badanku di atas sofa sambil menonton TV dan tanpa kusadari dia telah duduk di sebelahku. Aku tetap asyik menyaksikan film horor yang ada TV,tiba-tiba saja pada saat adegan tegang dia kaget dan langsung memelukku sehingga payudaranya yang kenyal mengenai tubuhku. Dia menjerit lalu berkata, "Mas matikan saja TV-nya aku takut".
"Lalu kita ngapain?", tanyaku.
"Pokoknya matikan saja nanti liat yang lain saja pokoknya seru deh".
"Aku masih bingung dengan maksudnya akan tetapi TV tetap kumatikan".

Setelah TV kumatikan tiba-tiba dia memegang tanganku, dadaku berdegup kencang dan aku tak tahu harus berbuat apa. Tanpa kusadari dia telah berada di pangkuanku sambil memegang bahuku. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya. Entah mengapa serasa nafsu ini ingin kutumpahkan pada tubuhnya yang aduhai. Sejurus kemudian kami telah beradu mulut, lidahnya dijulur-julurkan masuk ke mulutku dan tangannya mulai menuntun tanganku pada payudaranya. Saat itu pula tanganku mulai beraksi, isi otakku telah dipenuhi dengan nafsu. Dia mulai membuka satu demi satu kancing bajunya. Dan kulihat sepasang payudara yang aduhai. Kemudian dia merebahkanku, aku mulai lagi menciuminya, kurasakan lembut bibirnya, dan aku mulai beralih ke lehernya yang putih bersih dan harum, untung aku pernah nonton film biru. Kubelai rambutnya dan kudekap erat tubuhnya.

Setelah agak lama aku mulai turun menciumi dadanya dan kumainkan yang satunya. Kudengar desahnya yang membuatku semakin bernafsu. Meskipun aku belum pernah bermain dengan cewek tapi aku berusaha untuk membuat dirinya puas. Aku tetap menciumi dadanya dan turun perlahan ke perutnya dengan juluran lidahku yang basah dan akhirnya aku sampai ke vitalnya. Aku julur-julurkan lidahku ke kelaminnya, tak peduli dengan bau dan rambutnya yang tebal. Aku dengar dia mendesah-desah dan yang terakhir terdengar agak keras. Setelah itu dia mengangkatku dan aku tahu apa yang diinginkannya. Aku langsung memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Aku mulai dengan perlahan-lahan, kudengar lagi desahan suaranya yang membuatku semakin bergairah, dan kemudian aku semakin cepat memacunya. Dan beberapa lama kemudian kudengar desahannya semakin kencang dan kurasakan tubuhnya mulai mengencang bersamaan dengan itu kurasakan ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam tubuhku dan akhirnya tubuh kami berdua sama-sama menegang dan mengeluarkan cairan hangat dan kental. Akhirnya kami saling tertidur.
Kejadian tersebut terus berulang sampai akhirnya dia lulus kuliah dan bekerja di tempat lain.


TAMAT

Gadis gadis kecilku



Cerita ini bermula ketika aku berumur 32 tahun, aku waktu itu sudah bekerja sebagai kepala bagian di sebuah perusahaan BUMN, penghasilanku lebih dari cukup. Apapun bisa kupenuhi, hanya satu yang belum dapat kuraih, yaitu kebahagiaan keluarga, atau dengan kata lain punya istri dan punya anak. Aku hidup sebagai bujangan, kadang untuk memenuhi hasrat biologisku, aku mencarter wanita malam yang kesepian.

Ketika itu aku masih kost di kota A, kota yang indah dan tidak terlalu ramai, sebab di kota A itulah aku bekerja. Aku kost di rumah seorang ibu muda dengan satu anak gadisnya. Sebut saja ibu muda itu adalah Tante Linda, dan anak gadisnya yang masih 12 tahun usianya dan duduk di bangku SMP kelas 1, namanya Lia. Suami Tante Linda, sebut saja Oom Joko bekerja di ibukota, di suatu instansi pemerintah, dan mempunyai jabatan strategis. Setiap 2 minggu sekali, Oom Joko pulang ke kota A, aku sendiri cukup akrab dengan Oom Joko, umurku dengannya tidak terlalu terpaut jauh. Oom Joko aku taksir baru berumur sekitar 35 tahun, sedangkan Tante Linda justru lebih tua sedikit, 37 tahun. Aku menyebut mereka Oom dan Tante, sebab walaupun beda umur antara aku dan mereka sedikit, tetapi mereka sudah berkeluaga dan sudah punya seorang anak gadis.

Tante Linda merupakan seorang sekretaris di sebuah perusahaan otomotif di kota B yang jaraknya tidak begitu jauh dari kota A. Tante Linda berangkat pagi dan pulang malam, begitu seterusnya setiap harinya, sehingga aku kurang begitu dekat dengan Tante Linda. Justru kepada anak gadisnya yang masih SMP yang bernama Lia, aku merasa dekat. Sebab pada hari-hari kosongku, Lia lah yang menemaniku.

Selama tinggal serumah dengan Tante Linda dan anak gadisnya, yaitu Lia, aku tidak pernah berpikiran buruk, misalnya ingin menyetubuhi Tante Linda atau yang lainnya. Aku menganggapnya sudah seperti kakak sendiri. Dan kepada Lia, aku juga sudah menganggapnya sebagai keponakanku sendiri pula. Sampai akhirnya ketika suatu hari, hujan gerimis rintik-rintik, pekerjaan kantor telah selesai aku kerjakan, dan saat itu hari masih agak siang. Aku malas sekali ingin pulang, lalu aku berpikir berbuat apa di hari seperti ini sendirian. Akhirnya aku putuskan meminjam kaset VCD Blue Film yang berjudul Tarzan X ke rekan kerjaku. Kebetulan dia selalu membawanya, aku pinjam ke dia, lalu aku cepat-cepat pulang. Keadaan rumah masih sangat sepi, sebab Lia masih sekolah, dan Tante Linda bekerja. Karena aku kost sudah cukup lama, maka aku dipercaya oleh Oom Joko dan Tante Linda untuk membuat kunci duplikat. Jika sewaktu-waktu ada perlu di rumah, jadi tidak harus repot menunggu Lia pulang ataupun Tante Linda pulang.

Aku sebetulnya ingin menyaksikan film tersebut di kamar, entah karena masih sepi, maka aku menyaksikannya di ruang keluarga yang kebetulan tempatnya di lantai atas. Ah.. lama juga aku tidak menyaksikan film seperti ini, dan memang lama juga aku tidak ML (making love) dengan wanita malam yang biasa kupakai akibat stres karena kerjaan yang tidak ada habis-habisnya.

Aku mulai memutar film tersebut, dengan ukuran TV Sony Kirara Baso, seakan aku menyaksikan film bioskop, adegan demi adegan syur membuatku mulai bernafsu dan membuat batang kemaluanku berontak dari dalam celanaku. Aku kasihan pada adik kecilku itu, maka kulepaskan saja celanaku, kulepaskan juga bajuku, sehingga aku hanya menggunakan kaos singlet ketat saja. Celana panjang dan celana dalamku sudah kulepaskan, maka mulai berdiri dengan kencang dan kokohnya batang kemaluanku yang hitam, panjang, besar dan berdenyut-denyut. Aku menikmatinya sesaat, sampai akhirnya kupegangi sendiri batang kemaluanku itu dengan tangan kananku. Mataku tetap konsentrasi kepada layar TV, melihat adegan-adegan yang sudah sedemikian panasnya. Tarzan yang bodoh itu sedang diajari oleh wanitanya untuk memasukkan batang kemaluannya itu ke lubang kemaluan si wanita.

Batang kemaluan yang dari tadi kupegangi, kini telah kukocok-kocok, lambat dan cepat silih berganti gerakanku dalam mengocok. Setelah sekian lama, aku merasa sudah tidak kuat lagi menahan cairan mani yang ingin keluar.
Lalu, "Ahh... crrrottt.. cccroottt...," aku sudah menyiapkan handuk kecil untuk menampung cairan mani yang keluar dari lubang kencing kemaluanku. Sehingga cairan itu tidak muncrat kemana-mana.
Ternyata tanpa sepengetahuanku, ada sepasang mata melihat ke arahku dengan tidak berkedip, sepasang mata itu rupanya melihat semua yang kulakukan tadi. Aku baru saja membersihkan batang kemaluanku dengan handuk, lalu sepasang mata itu keluar dari persembunyiannya, sambil berkata kecil.

"Oom Agus, lagi ngapain sih, kok main-main titit begitu, emang kenapa sih?" kata suara kecil mungil yang biasa kudengar.
Bagaikan disambar geledek di siang hari, aku kaget, ternyata Lia sudah ada di belakangku. Aku gugup akan bilang apa, kupikir anak ini pasti sudah melihat apa yang kulakukan dari tadi.
"Eh, Llliiiiaaa.. baru pulang?" sahutku sekenanya.
"Iya nih Oom, ngga ada pelajaran." tukas Lia, lalu Lia melanjutkan perkataannya, "Oom Agus, Lia tadi kan nanya, Oom lagi ngapain sih, kok mainin titit gitu?"
"Oohh ini..," aku sudah sedikit bisa mengontrol diri, "Ini.. Oom habis melakukan olahraga , Lia."
"Ooohh.. habis olahraga yaaa..?" Lia sedikit heran.
"Iya kok.. olahraga Oom, ya begini, sama juga dengan olahraga papanya Lia." jawabku ingin meyakinkan Lia.
"Kalo olahraga Lia di sekolah pasti sama pak guru Lia disuruh lari." Lia menimpali.
"Itu karena Lia kan masih sekolah, jadi olahraganya harus sesuai dengan petunjuk pak guru." jawabku lagi.

"Oom, Lia pernah lihat papa juga mainin titit persis seperti yang Oom Agus lakukan tadi, cuma bedanya papa mainin tititnya sama mama." Lia dengan polosnya mengatakan hal itu.
"Eh, Lia pernah lihat papa dan mama olahraga begituan?" aku balik bertanya karena penasaran.
"Sering lihat Oom, kalo papa pulang, kalo malem pasti melakukannya sama mama." ujar Lia masih dengan polosnya menerangkan apa yang sering dilihatnya.
"Seperti ini yaa..?" sambil aku menunjuk ke cover gambar film Tarzan X, gambar Tarzan dengan memasukkan batang kemaluannya ke lubang kelamin wanitanya.
"Iya Oom, seperti apa yang di film itu lho!" jawab Lia, "Eh.. Oom, bagus lho filmnya, boleh ngga nih Lia nonton, mumpung ngga ada mama?"
"Boleh kok, cuma dengan syarat, Lia tidak boleh mengatakan hal ini sama papa dan mama, oke?" aku memberi syarat dengan perasaan kuatir jika sampai Lia cerita pada mama dan papanya.
"Ntar Oom beliin coklat yang banyak deh." janjiku.
"Beres Oom, Lia ngga bakalan cerita ke mama dan papa." dengan santai Lia menjawab perkataanku, rupanya Lia langsung duduk di sofa menghadap ke TV.

Kuputar ulang lagi film Tarzan X tersebut, dan Lia menontonnya dengan sepenuh hati, adegan demi adegan dilihatnya dengan penuh perhatian. Aku sendiri termenung menyaksikan bahwa di depanku ada seorang gadis kecil yang periang dan pintar sedang menonton blue film dengan tenangnya. Sedangkan aku sendiri masih belum memakai celanaku, ikut melihat lagi adegan-adegan film Tarzan X itu, membuat batang kemaluanku tegang dan berdiri kembali, kubiarkan saja. Lama kelamaan, aku tidak melihat ke arah film Tarzan X itu, pandanganku beralih ke sosok hidup yang sedang menontonnya, yaitu Lia.

Lia adalah yang tergolong imut dan manis untuk gadis seusianya. Entah kenapa, aku ingin sekali bersetubuh dengan Lia, aku ingin menikmati rasanya lubang kelamin Lia, yang kubayangkan pastilah masih sangat sempit. Ahhh.. nafsuku kian membara karena memikirkan hal itu. Aku mencoba mencari akal, bagaimana caranya agar keperawanan Lia bisa kudapatkan dan kurasakan. Kutunggu saja waktu tepatnya dengan sabar. Tidak terasa, selesailah film tersebut. Suara Lia akhirnya memecahkan keheningan.
"Oom, tuh tititnya berdiri lagi." kata Lia sambil menunjuk ke arah batang kemaluanku yang memang sedang tegang.
"Iya nih Lia, tapi biarin saja deh, gimana dengan filmnya?" jawabku santai.
"Bagus kok Oom, persis seperti apa yang papa dan mama lakukan, dan Lia ada beberapa pertanyaan buat Oom nih." Lia sepertinya ingin menanyakan sesuatu.

"Pertanyaannya apa?" tanyaku.
"Kenapa sih, kalo olahraga gituan harus masukin titit ke... apa tuh, Lia ngga ngerti?" tanya Lia.
"Oh itu.., itu namanya titit dimasukkan ke lubang kencing atau disebut juga lubang memek, pasti papa Lia juga melakukan hal itu ke mama kan?" jawabku menerangkan.
"Iya benar Oom, papa pasti masukin tititnya ke lubang yang ada pada memek mama." Lia membenarkan jawabanku.
"Itulah seninya olahraga beginian Lia, bisa dilakukan sendiri, bisa juga dilakukan berdua, olahraga ini khusus untuk dewasa." kataku memberi penjelasan ke Lia.
"Lia sudah boleh ngga Oom.. melakukan olahraga seperti itu?" tanya Lia lagi.
Ouw.. inilah yang aku tunggu.. dasar rejeki.. selalu saja datang sendiri.

"Boleh sih, dengan satu syarat jangan bilang sama mama dan papa." jelasku.
Terang saja aku membolehkan, sebab itulah yang kuharapkan.
"Lia harus tahu, jika Lia melakukan olahraga beginian akan merasa lelah sekali tetapi juga akan merasakan enak." tambahku.
"Masa sih Oom? Tapi kayaknya ada benarnya juga sih, Lia lihat sendiri mama juga sepertinya merasa lelah tapi juga merasa keenakan, sampai menjerit-jerit lho Oom, malahan kadang seperti mau nangis." Lia yang polos rupanya sudah mulai tertarik dan sepertinya ingin tahu bagaimana rasanya.
"Emang gitu kok. Ee..., mumpung masih siang nich, mama Lia juga masih lama pulangnya, kalo Lia memang ingin olahraga beginian, sekarang saja gimana?" aku sudah tidak sabar ingin melihat pesona kemaluannya Lia, pastilah luar biasa.

"Ayolah!" Lia mengiyakan.
Memang rasa ingin tahu anak gadis seusia Lia sangatlah besar. Ini adalah hal baru bagi Lia. Segera saja kusiapkan segala sesuatunya di otakku. Aku ingin Lia merasakan apa yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kaos singlet yang menempel di tubuhku telah kulepas. Aku sudah telanjang bulat dengan batang kejantananku mengacung-ngacung keras dan tegang. Baru pernah seumur hidupku, aku telanjang di hadapan seorang gadis belia berumur 12 tahun. Lia hanya tersenyum-senyum memandangi batang kemaluanku yang berdiri dengan megahnya. Mungkin karena kebiasaan melihat papa dan mamanya telanjang bulat, sehingga melihatku telanjang bulat merupakan hal yang tidak aneh lagi bagi Lia.

Kusuruh Lia untuk membuka seluruh pakaiannya. Awalnya Lia protes, tetapi setelah kuberitahu dan kucontohkan kenapa mama Lia telanjang bulat, dan kenapa ceweknya Tarzan juga telanjang bulat, sebab memang sudah begitu seharusnya. Akhirnya Lia mau melepas pakaiannya satu persatu. Aku melihat Lia melepaskan pakaiannya dengan mata tidak berkedip. Pertama sekali, lepaslah pakaian sekolah yang dikenakannya, lalu rok biru dilepaskan juga. Sekarang Lia tinggal mengenakan kaos dalam dan celana dalam saja.

Di balik kaos dalamnya yang cukup tebal itu, aku sudah melihat dua benjolan kecil yang mencuat, pastilah puting susunya Lia yang baru tumbuh. Baru saja aku berpikiran seperti itu, Lia sudah membuka kaos dalamnya itu dan seperti apa yang kubayangkan, puting susu Lia yang masih kuncup, membenjol terlihat dengan jelas di kedua mataku. Puting susu itu begitu indahnya. Lain sekali dengan yang biasa kulihat dan kurasakan dari wanita malam langgananku, rata-rata puting susu mereka sudah merekah dan matang, sedangkan ini, aku hanya bisa menelan ludah.

Payudara Lia memang belum nampak, sebab karena faktor usia. Akan tetapi puting susunya sudah mulai menampakkan hasilnya. Membenjol cukup besar dan mencuat menantang untuk dinikmati. Warna puting susu Lia coklat kemerahan, aku melihat puting susu itu menegang tanpa Lia menyadarinya. Lalu Lia melepaskan juga celana dalamnya. Kembali aku dibuatnya sangat bernafsu, kemaluan Lia masih berupa garis lurus, seperti kebanyakan milik anak-anak gadis yang sering kulihat mandi di sungai. Vagina yang belum ditumbuhi bulu rambut satu pun, masih gundul. Aku sungguh-sungguh melihat pemandangan yang menakjubkan ini. Terbengong-bengong aku dibuatnya.

"Oom, udah semua nih, udah siap nih Oom."
Aku tersentak dari lamunan begitu mendengar Lia berbicara.
"Oke, sekarang dimulai yaaa...?"
Kuberi tanda ke Lia supaya tiduran di sofa. Pertama sekali aku meminta ijin ke Lia untuk menciuminya, Lia mengijinkan, rupanya karena sangat ingin atau karena Lia memang sudah mulai menuruti nafsunya sendiri, aku kurang tahu. Yang penting bagiku, aku merasakan liang perawannya dan menyetubuhinya siang ini.

Aku ciumi kening, pipi, hidung, bibir dan lehernya. Kupagut dengan mesra sekali. Kubuat seromantis mungkin. Lia hanya diam seribu bahasa, menikmati sekali apa yang kulakukan kepadanya.
Setelah puas aku menciuminya, "Lia, boleh ngga Oom netek ke Lia?" tanyaku meminta.
"Tapi Oom, tetek Lia kan belon sebesar seperti punya mama." kata Lia sedikit protes.
"Ngga apa-apa kok Lia, tetek segini malahan lebih enak." kilahku meyakinkan Lia.
"Ya deh, terserah Oom saja, asalkan ngga sakit aja." jawab Lia akhirnya memperbolehkan.
"Dijamin deh ngga sakit, malahan Lia akan merasakan enak dan nikmat yang tiada tara." jawabku lagi.

Segera saja kuciumi puting susu Lia yang kiri, Lia merasa geli dan menggelinjang-gelinjang keenakan, aku merasakan puting susu Lia mulai mengalami penegangan total. Selanjutnya, aku hisap kedua puting susu tersebut bergantian. Lia melenguh menahan geli dan nikmat, aku terus menyusu dengan rakusnya, kusedot sekuat-kuatnya, kutarik-tarik, sedangkan puting susu yang satunya lagi kupelintir-pelintir.
"Oom, kok enak banget nihhh... oohhh... enakkk..." desah Lia keenakan.
Lia terus merancau keenakan, aku sangat senang sekali. Setelah sekian lama aku menyusu, aku lepaskan puting susu tersebut. Puting susu itu sudah memerah dan sangat tegangnya. Lia sudah merasa mabuk oleh kenikmatan. Aku bimbing tangannya ke batang kemaluanku.

"Lia, kocok dong tititnya Oom Agus." aku meminta Lia untuk mengocok batang kemaluanku.
Lia mematuhi apa yang kuminta, mengocok-ngocok dengan tidak beraturan. Aku memakluminya, karena Lia masih amatir, sampai akhirnya aku justru merasa sakit sendiri dengan kocokan Lia tersebut, maka kuminta Lia untuk menghentikannya. Selanjutnya, kuminta Lia untuk mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar, tanpa bertanya Lia langsung saja mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar, aku terpana sesaat melihat vagina Lia yang merekah. Tadinya kemaluan itu hanya semacam garis lurus, sekarang di hadapanku terlihat dengan jelas, buah klitoris kecil Lia yang sebesar kacang kedelai, vaginanya merah tanpa ditumbuhi rambut sedikit pun, dan yang terutama, lubang kemaluan Lia yang masih sangat sempitnya. Jika kuukur, hanya seukuran jari kelingking lubangnya.

Aku lakukan sex dengan mulut, kuciumi dan hisap kemaluan Lia dengan lembut, Lia kembali melenguh. Lenguhan yang sangat erotis. Meram melek kulihat mata Lia menahan enaknya hisapanku di kemaluannya. Kusedot klitorisnya. Lia menjerit kecil keenakan, sampai tidak berapa lama.
"Oom, enak banget sih, Lia senang sekali, terussinnn..." pinta Lia.
Aku meneruskan menghisap-hisap vagina Lia, dan Lia semakin mendesah tidak karuan. Aku yakin Lia hampir mencapai puncak orgasme pertamanya selama hidup.
"Oommm... ssshhh... Lia mau pipis nich.."
Lia merasakan ada sesuatu yang mendesak ingin keluar, seperti ingin kencing.
"Tahan dikit Lia... tahan yaaa..." sambil aku terus menjilati, dan menghisap-hisap kemaluannya.
"Udah ngga tahan nich Oommm... aahhh..."
Tubuh Lia mengejang, tangan Lia berpegangan ke sofa dengan erat sekali, kakinya menjepit kepalaku yang masih berada di antara selangkangannya.

Lia ternyata sudah sampai pada klimaks orgasme pertamanya. Aku senang sekali, kulihat dari bibir lubang perawannya merembes keluar cairan cukup banyak. Itulah cairan mani nikmatnya Lia.
"Oohhh... Oom Agus... Lia merasa lemes dan enak sekali... apa sih yang barusan Lia alami, Oom...?" tanya Lia antara sadar dan tidak.
"Itulah puncaknya Lia.., Lia telah mencapainya, pingin lagi ngga?" tanyaku.
"Iya.. iya.. pingin Oom..." jawabnya langsung.
Aku merasakan kalau Lia ingin merasakannya lagi. Aku tidak langsung mengiyakan, kusuruh Lia istirahat sebentar, kuambilkan semacam obat dari dompetku, obat dopping dan kusuruh Lia untuk meminumnya. Karena sebentar lagi, aku akan menembus lubang perwannya yang sempit itu, jadi aku ingin Lia dalam keadaan segar bugar.

Tidak berapa lama, Lia kulihat telah kembali fit.
"Lia... tadi Lia sudah mencapai puncak pertama, dan masih ada satu puncak lagi, Lia ingin mencapainya lagi kan..?" bujukku.
"Iya Oom, mau dong..." Lia mengiyakan sambil manggut-manggut.
"Ini nanti bukan puncak Lia saja, tetapi juga puncak Oom Agus, ini finalnya Lia" kataku lagi menjelaskan.
"Final?" Lia mengernyitkan dahinya karena tidak paham maksudku.
"Iya, final.., Oom ingin memasukan titit Oom ke lubang memek Lia, Oom jamin Lia akan merasakan sesuatu yang lebih enak lagi dibandingkan yang tadi." akhirnya aku katakan final yang aku maksudkan.
"Ooh ya, tapi.. Oom.. apa titit Oom bisa masuk tuh? Lubang memek Lia kan sempit begini sedangkan tititnya Oom.. gede banget gitu..." Lia sambil menunjuk lubang nikmatnya.
"Pelan-pelan dong, ntar pasti bisa masuk kok.. cobain ya..?" pintaku lagi.
"Iya deh Oom..." Lia secara otomatis telah mengangkangkan kakinya selebar-lebarnya.

Kuarahkan kepala kemaluanku ke lubang vagina Lia yang masih super sempit tersebut. Begitu menyentuh lubang nikmatnya, aku merasa seperti ada yang menggigit dan menyedot kepala kemaluanku, memang sangat sulit untuk memasukkannya. Sebenarnya bisa saja kupaksakan, tetapi aku tidak ingin Lia merasakan kesakitan. Kutekan sedikit demi sedikit, kepala kemaluanku bisa masuk, Lia mengaduh dan menjerit karena merasa perih. Aku menyuruhnya menahan. Efek dari obat dopping itu tadi adalah untuk sedikit meredam rasa perih, selanjutnya kutekan kuat-kuat.
"Blusss..."
Lia menjerit cukup keras, "Ooommm... tititnya sudaaahhh masuk... kkaahhh?"
"Udah sayang... tahan ya..." kataku sambil mengelus-ngelus rambut Lia.

Aku mundurkan batang kemaluanku. Karena sangat sempitnya, ternyata bibir kemaluan Lia ikut menggembung karena tertarik. Kumajukan lagi, kemudian mundur lagi perlahan tetapi pasti. Beberapa waktu, Lia pun sepertinya sudah merasakan enak. Setelah cairan mani Lia yang ada di lubang perawannya semakin membanjir, maka lubang kenikmatan itu sudah sedikit merekah. Aku menggenjot maju mundur dengan cepat. Ahhh.. inikah kemaluan perawan gadis imut. Enak sekali ternyata. Hisapannya memang tiada duanya. Aku merasa keringat telah membasahi tubuhku, kulihat juga keringat Lia pun sudah sedemikian banyaknya.

Sambil kuterus berpacu, puting susu Lia kumainkan, kupelintir-pelintir dengan gemas, bibir Lia aku pagut, kumainkan lidahku dengan lidahnya. Aku merasakan Lia sudah keluar beberapa kali, sebab aku merasa kepala batang kemaluanku seperti tersiram oleh cairan hangat beberapa kali dari dalam lubang surga Lia. Aku ganti posisi. Jika tadi aku yang di atas dan Lia yang di bawah, sekarang berbalik, aku yang di bawah dan Lia yang di atas. Lia seperti kesetanan, bagaikan cowboy menunggang kuda, oh enak sekali rasanya di batang kemaluanku. Naik turun di dalam lubang surga Lia.

Sekian lama waktu berlalu, aku merasa puncak orgasmeku sudah dekat. Kubalik lagi posisinya, aku di atas dan Lia di bawah, kupercepat gerakan maju mundurku. Lalu aku peluk erat sekali tubuh kecil dalam dekapanku, kubenamkan seluruh batang kemaluanku. Aku menegang hebat.
"Crruttt... crruttt..."
Cairan maniku keluar banyak sekali di dalam lubang kemaluan Lia, sedangkan Lia sudah merasakan kelelahan yang amat sangat. Aku cabut batang kemaluanku yang masih tegang dari lubang kemaluan Lia. Lia kubiarkan terbaring di sofa. Tanpa terasa, Lia langsung tertidur, aku bersihkan lubang kelaminnya dari cairan mani yang perlahan merembes keluar, kukenakan kembali semua pakaiannya, lalu kubopong gadis kecilku itu ke kamarnya. Aku rebahkan tubuh mungil yang terkulai lelah dan sedang tertidur di tempat tidurnya sendiri, kemudian kucium keningnya. Terima kasih Lia atas kenikmatannya tadi. Malam pun tiba.
Keesokan harinya, Lia mengeluh karena masih merasa perih di vaginanya, untungnya Tante Linda tidak tahu. Hari berlalu terus. Sering kali aku melakukan olahraga senggama dengan Lia, tentunya tanpa sepengetahuan Oom Joko dan Tante Linda.

Kira-kira sudah berjalan setengah tahun lamanya, Lia sudah sangat pintar untuk ukuran gadis seusianya dalam melakukan olahraga senggama. Aku pun sangat memanjakannya, uang yang biasa kuhamburkan untuk membayar wanita malam, kuberikan ke Lia. Untuk menghindari kecurigaan orang tuanya, uang itu kubelikan hal-hal yang Lia suka, seperti makanan, mainan dan masih banyak lagi.

Sekarang Lia sudah kelas 2 SMP, naik kelas dengan nilai yang bagus, apa yang kulakukan dengan Lia tidak mempengaruhi belajarnya. Inilah yang membuat aku semakin sayang, dan sampai suatu saat, Tante Linda diharuskan pergi beberapa hari lamanya ke ibu kota untuk menemani Oom Joko menghadiri resepsi-resepsi pernikahan dari rekan-rekan kerja Oom Joko yang kebetulan berurutan tanggalnya. Aku ditinggal berdua di rumah dengan Lia, memang sudah terlalu biasa, sedikit bedanya adalah sekarang sudah super bebas, tidak mengkhawatirkan kalau-kalau Tante Linda pulang dari kerja.

Lia pernah menjanjikan kepadaku akan membawa teman-teman akrabnya main ke rumah untuk diajarkan olahraga senggama. Dan saat yang tepat adalah sekarang, dimana Tante Linda tidak akan ada di rumah untuk beberapa hari, dan Lia juga mulai libur karena kelasnya dipakai untuk testing uji coba siswa kelas 3. Sangat kebetulan sekali kalau hari ini sabtu, sekolah Lia pulang sangat awal dikarenakan guru-guru sibuk menyiapkan bahan untuk testing uji coba siswa kelas 3. Lia telpon ke kantorku, menanyakan apakah aku bisa pulang cepat atau tidak. Lia juga mengatakan kalau dia membawa teman-temannya seperti yang telah dijanjikannya.

Kontan saja mendengar kabar itu, aku langsung ijin pulang. Sebelum pulang ke rumah kusempatkan mampir ke apotik untuk membeli sejumlah obat-obatan yang kuperlukan nantinya, aku ingin penantian yang begitu lamanya, di hari ini akan terlaksana.

Sesampainya di rumah, benar saja, ada tiga gadis teman akrab Lia, mereka semua cantik-cantik. Tidak kalah cantik dengan Lia. Gadis pertama bernama Anna, wajahnya cantik, hidungnya mancung, rambutnya lurus potongan pendek, tubuhnya tidak terlalu kurus, senyumnya selalu menghiasi bibirnya yang sensual, payudaranya kelihatan belum tumbuh akan tetapi satu yang membuat aku heran, dari benjolan bajunya, kutahu kalau itu puting susunya Anna, sepertinya lumayan besar. Tetapi masa bodo, yang penting miliknya bisa dinikmati. Anna ini sepertinya tomboy, wow, kuat juga nih senggamanya, pikiran kotorku muncul mendadak.

Lalu gadis kedua bernama Indah, wajahnya mirip Lia, hidungnya mancung, rambutnya lurus panjang sebahu, agaknya lumayan pendiam, tubuhnya sedikit lebih besar dibandingkan dengan Lia dan Anna, payudaranya sudah sedikit tumbuh, terlihat dari permukaan bajunya yang sedikit membukit, lumayan bisa buat diremas-remas, sebab tanganku sudah lama tidak meremas payudara montok.

Gadis yang ketiga, inilah yang membuatku terpana, namanya Devi. Ternyata Devi ini masih keturunan India, cantik sekali, rambutnya pendek, hidungnya sangat mancung, dan sepertinya sedikit cerewet. Tubuhnya sama dengan Lia, kecil dan imut, payudaranya kurasa juga belum tumbuh. Sekilas, puting susunya saja belum terlihat.

Aku pulang tidak lupa dengan membawa oleh-oleh yang sengaja kubeli, aku manjakan mereka semua sesuai dengan pesan Lia. Teman-temannya ingin melihat olahraga senggama yang sering Lia lakukan. Lia memang sedikit ceroboh, membocorkan hal-hal seperti ini, tetapi Lia menjamin, karena ketiga gadis itu adalah sahabat sejatinya.

Singkat waktu, malam pun tiba. Ketiga gadis teman Lia itu sudah berencana untuk menginap di rumah Lia, sebab besoknya adalah minggu, alias libur, seninnya juga masih libur dan lagi mereka pun sudah ijin kepada orang tuanya masing-masing untuk menginap di tempatnya Lia, alasannya menemani Lia yang ditinggal mamanya ke luar kota.

Pertama sekali, aku diperkenalkan Lia kepada ketiga temannya, dan tidak ada basa-basi seperti apa yang kulakukan kepada Lia dulu. Aku meminta Lia memutarkan film Tarzan X kesukaannya kepada ketiga temannya itu. Gadis-gadis kecil itu rupanya sudah menantikan. Menonton pun dengan konsentrasi tinggi layaknya sedang ujian. Aku takjub melihat mereka, dan justru cekikikan sendiri melihat adegan demi adegan, sepertinya ketiga teman Lia itu sudah pernah melihat yang sesungguhnya atau pemandangan yang nyata.

Setelah film usai, aku lalu beranikan diri bertanya ke mereka. Pertama sekali adalah ke Anna yang aku nilai paling berani.
"Anna, Oom penasaran, kayaknya Anna sering lihat olahraga begituan?" tanyaku penuh selidik.
"Iya benar kok Oom... Anna sering lihat olahraga begitu, terlebih kakak Anna sama pacarnya, mereka selalu berbuat begituan di rumah" jawab Anna jujur menjelaskan dan membenarkan.
"Hah? Masak sih di rumah.." tanyaku lagi dengan heran.
"Iya, bener kok Oom, sebab papa dan mama Anna kan ngga tinggal di sini" Anna menjawab keherananku.
"Oohhh..." aku hanya bisa manggut-manggut.
"Emang sih, Anna lihatnya dengan sembunyi-sembunyi, sebab merasa penasaran sebenarnya apa sih yang kakak Anna lakukan bersama pacarnya? Ternyata seperti di film Tarzan itu Oom..." Anna menjawab dengan menerangkan tanpa merasa aneh atau bahkan malu.

Lalu aku selanjutnya bertanya kepada Indah. Indah sedikit tergagap sewaktu kutanya, ternyata Indah sendiri sudah mengetahui hal begituan secara tidak sengaja sewaktu sedang menjemur pakaian di loteng rumahnya. Indah bercerita, tanpa sengaja dia melihat di halaman belakang tetangganya, ada yang sedang bermain seperti yang dilakukan di dalam film Tarzan X tersebut. Intinya Indah tahu kalau titit itu bisa dimasukkan ke lubang wanita.

Terakhir aku bertanya ke Devi, dengan polosnya Devi mengungkapkan kalau dia mengetahui hal-hal begituan dari melihat apa yang papa dan mamanya lakukan ketika malam hari. Sama seperti dengan pengalaman Lia pertama kali melihat hal itu.

Setelah aku mendengar cerita mereka, aku menawarkan, apakah mereka ingin melihat langsung, kompak sekali mereka bertiga menjawab ya. Lalu aku bertanya sekali lagi, apakah mereka ingin merasakannya juga, sekali lagi dengan kompaknya, mereka bertiga menjawab ya.
"Kalo begitu... Oom mulai sekarang ya...?" jantungku berdegup kencang karena girang yang tiada tara, aku tidak mengira akan semulus ini.
Aku akhirnya melepaskan seluruh pakaian yang kukenakan, sesuai dengan rencana, aku akan memamerkan olahraga senggama itu berpasangan dengan Lia, dan sebetulnya Lia yang mempunyai ide merencanakan itu semua.

Anna, Indah dan Devi memandangi terus ke bagian bawah tubuhku, apalagi kalau bukan batang kemaluanku yang sangat kubanggakan, hitam, panjang, besar, berotot, dan berdenyut-denyut. Lia sendiri sudah melepaskan seluruh pakaiannya. Puting susu Lia sudah membenjol cukup besar karena sering kali kuhisap, dan oleh Lia sendiri sering ditarik-tarik saat menjelang tidur. Payudaranya masih belum nampak mulai menumbuh. Untuk bagian bawah, vagina Lia sudah sedikit berubah. Dulunya hanya seperti garis membujur, sekarang dari kemaluan Lia sudah mencuat bibir bibir berdaging, hal ini dikarenakan sudah sering kumasuki dengan batang kemaluanku tentunya, tetapi itu semua tidak mengurangi keindahan dan kemampuan empotnya (hisapan dan pijatan vagina).

Aku main tembak langsung saja kepada Lia, sebab aku tahu Lia sudah sangat berpengalaman sekali untuk hal beginian. Kupagut bibir Lia, tanganku memainkan puting susu dan liang nikmatnya, Lia sudah cepat sekali terangsang, kulepaskan pagutanku, lalu kuciumi puting susunya. Kuhisap bergantian, kiri dan kanan. Anna, Indah dan Devi melihat caraku memainkan tubuh telanjang Lia, napas mereka bertiga mulai memburu, rupanya nafsu ingin ikut merasakan telah menghinggapi mereka.

Sekian lama kuciumi dan hisap puting susu mungil yang sudah lumayan membenjol besar itu, aku memang sangat suka sekali menetek dan menghisap puting susu, terlebih bila melihat ibu muda sedang menyusui bayinya, ouw, pasti aku langsung terangsang hebat.

Setelah puas kuberkutat di puting susu Lia dengan ciuman dan hisapan mulutku, kualihkan ke liang senggama Lia, kalau dahulu Lia tidak bisa menahan puncak orgasmenya, sekarang sudah sedikit ada kemajuan. Kuhisap dan kuciumi liangnya, Lia masih bisa menahan agar tidak jebol, tidak lama aku merasakan Lia sudah bergetar, kupikir jika aku terlalu lama menghisap lubang senggamanya, Lia pasti tidak akan kuat lagi menahan cairan maninya keluar, maka langsung saja kumasukkan batang kemaluanku yang sudah sangat tegang itu ke lubang kenikmatan Lia. Aku tidak merasa kesulitan lagi untuk memasuki lubang vagina Lia, sudah begitu hapal, maka semua batang kemaluanku amblas ke dalam lubang senggama Lia.

Anna, Indah dan Devi melihat dengan sedikit melotot seolah tidak percaya batang kejantananku yang hitam, panjang dan sedemikian besarnya bisa masuk ke lubang senggama teman mereka, yaitu Lia. Mereka bertiga mendesah-desah aku merasa mereka sudah ingin sekali merasakan lubang kenikmatan mereka juga diterobos batang kejantananku.

Aku menggerakan maju mundur, mulai dari perlahan lalu bertambah cepat, kemudian berganti posisi, berulang kali sekitar 15 menit. Aku sudah merasakan Lia akan mencapai puncak orgasmenya. Betul saja, tidak lama kemudian, Lia memelukku erat dan dari dalam lubang surganya aku merasakan ada semprotan yang keras menerpa kepala kejantananku yang berada di dalam lubang vaginanya. Banyak sekali Lia mengeluarkan cairan mani, Lia terkulai lemas, batang kejantananku masih gagah dan kokoh, memang aku sengaja untuk tidak menguras tenagaku berlebihan, target tiga vagina perawan yang menanti harus tercapai.

Lia kusuruh istirahat, Lia langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badan sekaligus beristirahat, selanjutnya kutawarkan ke Anna, Indah, dan Devi, siapa yang mau duluan. Sejenak mereka bertiga sepertinya ragu, lalu akhirnya Anna yang mengajukan diri untuk mencoba.
"Bagus Anna, kamu berani deh." pujiku kepada Anna.

Tanpa berlama-lama, kusuruh Anna untuk membuka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, langsung saja Anna melakukan apa yang kusuruh, aku memandangi Anna yang mulai melepas pakaiannya satu persatu, sampai akhirnya telanjang bulat. Tubuh Anna putih bersih, apa yang tadi membuatku penasaran sudah terobati, puting susu Anna kunilai aneh, payudaranya memang belum tumbuh, akan tetapi puting susunya itu membenjol lumayan besar. Bentuknya unik dan baru kali ini aku melihatnya, bentuknya mengerucut tumpul, puting susu dan lingkaran hitam kecoklatannya menyatu dan meninggi. Kata kamus ilmiah, puting susu berbentuk seperti ini langka sekali dan kualitas sensitifnya sangat tinggi, bisa dikatakan sangat perasa sekali. Sedangkan vaginanya masih berupa garis, dengan bagian sisinya sedikit membukit. Sepertinya vagina ini kenyal sekali dan super enak. Tidak sabar rasanya kuingin segera merasakannnya.

Aku langsung menciumi bibir Anna yang sensual itu, kupagut dengan mesra. Tanganku bergerak mengusap puting susu unik milik Anna. Benar saja, begitu telapak tanganku mengusap puting susunya, Anna merasa sangat terangsang.
"Ouwww... Oommm... enak sekali Oom.." Anna mengomentari apa yang dirasakannya.
Aku merasakan puting susu Anna mulai menegang. Segera saja kulepaskan pagutanku di bibir Anna, aku merasa senang, rupanya Anna telah tanggap dengan apa yang kumau, dengan tangannya sendiri menjepit puting susunya dan menyodorkan kepadaku. Maka dengan rakusnya, mulailah kuciumi dan kuhisap, Anna berkali-kali menjerit kecil. Rupanya puting susu Anna sangat perasa, tanganku tanpa sadar menyentuh kemaluan Anna, ternyata vagina Anna sudah basah dan banyak juga cairan maninya yang merembes keluar. Aku terus saja menyusu dan mengempot puting susu Anna, kiri dan kanan bergantian.

"Oomm... Anna kok seperti mau pipis nih... Ada sesuatu yang mau keluar dari memek Anna nih..." Anna mengungkapkan apa yang akan terjadi.
"Tahan dikit dong..." jawabku.
Mendengar hal ini, kulepaskan hisapanku dari puting susu Anna, lalu mulutku beralih ke liang senggama Anna. Secara otomatis, Anna sudah mengangkangkan kedua kakinya, aku mencium aroma dahsyat dari liangnya Anna. Sungguh legit. Vagina Anna merah sekali dan sudah mengkilap, kujilati kemaluan yang basah itu, selanjutnya kuhisap dalam-dalam. Anna rupanya mengelinjang liar karena merasa nikmat.

"Oomm... Anna udah ngga kuat lagi nihhh... aahhh..." jerit Anna seiring dengan tubunnya yang menegang.
Saat itu, mulutku masih menghisap lubang kemaluan Anna, aku merasakan ada sesuatu yang menyemprot, rasanya asih dan gurih. Inikah cairan mani Anna karena sudah mencapai orgame pertamanya, tanpa pikir panjang kutelan saja cairan mani itu, kujilati dengan rakus. Kulihat juga buah klitoris Anna yang kecil mencuat berdenyut-denyut. Aku sendiri merasakan sudah akan mencapai puncak orgasmeku.

"Anna.. Oom mau masukin titit Oom ke lubang memek Anna nih.." aku meminta ijin kepada Anna.
"Ya Oom, masukin saja, ayo dong cepat..." Anna rupanya sudah tidak sabar lagi ingin merasakan batang kejantananku memasuki lubang surganya.
Kuarahkan kepala senjataku ke lubang senggamanya Anna, Anna tanpa diminta memegang batang kemaluanku dan membimbingnya memasuki lubang kemaluannya. Surprise, insting Anna hebat juga nih pikirku, tanpa kesulitan, lubang vagina yang sudah banjir dengan cairan mani itu menerima kepala kemaluan dan batang kemaluanku. Lumayan sempit juga, untungnya tertolong oleh cairan mani dan pengertian Anna membimbing masuk batang kemaluanku sehingga aku tidak kerepotan saat memasukannya.

"Blusss..." kutekan sepenuhnya, aku maju mundurkan dengan segera, perlahan, lalu cepat.
Aku merasa akan mencapai klimaksku, hisapan vagina Anna sungguh dahsyat. Ini yang membuatku tidak kuat menahan cairan maniku untuk lama keluar. Anna memang kuat sekali, aku merasakan Anna berkali-kali menyemprotkan cairan maninya, mungkin ada lima kali lebih, akan tetapi Anna masih mampu mengimbangi gerakanku, hebatnya lagi, goyangan pantatnya. Oh edan, akhirnya aku merasa tidak kuat menahan lagi, kulihat Anna pun sudah akan mencapai orgasme puncaknya.

"Anna.. kita sama-sama keluarkan yaaa.. please sayang.." pintaku sambil sekuat tenaga menahan.
"Iiiiyaaa.. Oommm.. sekarang yaaa..." Anna berkata dengan bergetar.
Aku mengeram, tubuhku menegang, tubuh kecil Anna yang kutindih, kupeluk erat sekali.
"Crottt... crrruttt... aaahhh.. seerrr..." kukeluarkan cairan mani puncak orgasmeku di dalam lubang kemaluan Anna yang sempit itu.
Karena banyaknya cairan mani di dalam lubang senggama Anna, lubang kelamin itu tidak bisa menampung semua, maka merembes dengan derasnya cairan mani itu keluar dari lubang senggama, cairan maniku yang bercampur dengan cairan mani Anna. Kucabut batang kemaluanku yang masih cukup tegang dari lubang kemaluan Anna, batang kejantananku sangat mengkilap, seperti habis di pernis.

Indah dan Devi, tanpa sepengetahuanku ternyata telah telanjang bulat, rupanya mereka berdua tidak tahan melihat pergulatanku yang cukup lama dengan Anna. Memang kuakui Anna sangat kuat, cewek tomboy ternyata benar-benar hebat permainan senggamanya. Apa yang dikatakan orang memang bukan isapan jempol, aku sudah membuktikannya hari ini lewat gadis kecil bernama Anna. Kupikir jika gadis tomboy yang sudah matang pasti akan lebih kuat lagi.

Kulihat juga Lia sudah selesai membersihkan badan dan sekarang dengan penuh pengertian sibuk di dapur untuk membuat makanan. Anna yang masih terkulai lemas, kusuruh untuk mandi dulu dan istirahat, lalu setelah itu kusuruh juga untuk membantu Lia di dapur.

Indah dan Devi dengan telanjang bulat telah menghampiriku, dari pandangan mata mereka seolah meminta giliran. Aku sebenarnya merasa kasihan, aku masih cukup lelah untuk memulainya lagi. Kupikir kalau kubiarkan mereka terlalu lama menanti, pastilah akan membuat mereka kehilangan gairah nantinya, akhirnya kuminum obat yang kubeli tadi di apotik. Kuminum 6 pil sekaligus, reaksi obat ini sangat cepat, badanku merasa panas. Melihat tubuh-tubuh kecil telanjang bulat milik Indah dan Devi, batang kemaluanku yang tadinya loyo sekarang tegang dan mengacung-ngacung, gairahku lebih membara lagi.

Indah seingatku tadi masih menggunakan pakaian lengkapnya, sekarang sudah telanjang bulat, sungguh aku mengagumi tubuhnya, payudaranya sedikit menumbuh dan membukit, puting susunya kecil, mungil, coklat kehitaman telah menegang sehingga meruncing, lubang kemaluannya pun kulihat sudah basah menunggu penantian. Lalu Devi, yang juga tadi masih kulihat berpakaian lengkap, sekarang telah telanjang bulat pula. Devi memang lain sendiri dibandingkan Anna, Lia dan Indah, mungkin karena masih keturunan India, akan tetapi Devi juga yang paling muda sendiri. Usianya selisih satu tahun lebih muda dibandingkan Anna, Indah maupun Lia. Jelas sekali dengan kurun usia relatif sangat muda, pertumbuhan payudaranya belum ada sama sekali, puting susunya juga belum menampakkan benjolan yang berarti, masih rata dengan dada. Tetapi karena terangsang, rupanya menjadi sedikit meruncing. Lalu vaginanya pun masih biasa saja, kesimpulanku Devi masih imut sekali. Mungkin satu tahun ke depan baru ada perubahan, aku sebenarnya tidak tega untuk menerobos keperawanannya sekarang, tetapi apa komentarnya nanti, pastilah dikatakan olehnya tidak adil, bahkan yang kukuatirkan adalah Devi nantinya akan marah dan cerita tentang hal ini kepada orang lain.

Dalam waktu yang bersamaan, kurengkuh dua gadis kecil itu sekaligus. Kupagut bibir Devi, kuciumi leher dahi dan tengkuknya. Devi merasa enak dan geli, sedangkan Indah, puting susu dan payudaranya kuusap-usap dengan tanganku, payudaranya yang sudah cukup membukit menjadikan tanganku bisa meremasnya. Indah mendesah keenakan. Aku minta ke Indah untuk memijat-mijat batang kemaluanku, ternyata Indah pandai juga memijat. Batang kejantananku semakin menegang. Pijatan Indah sungguh enak sekali, apalagi remasan tangganya di buah kejantananku.

Selanjutnya, kulepaskan pagutanku di bibir Devi, kulanjutkan dengan menghisap puting susu Devi yang meruncing kecil. Devi menggelinjang keenakan, kujilati dan kubuat cupang banyak sekali di dada Devi, sampai akhirnya aku beralih ke liangnya Devi yang sangat imut, kemaluan ini sama seperti kepunyaan anak-anak kecil yang sering kulihat mandi di sungai. Tetapi, ah masa bodo. Devi kegelian ketika kumulai menciumi, menjilat dan menghisap vaginanya itu. Kukangkangkan kedua kaki Devi, maka terkuaklah belahan kemaluan dengan lubang yang sangat sempit. Jika kuukur, lubang kemaluan itu hanya seukuran pulpen kecil. Aku sempat gundah, apakah batang kejantananku bisa masuk? Tetapi akan kucoba, kuyakin lubang surga itu kan elastis, jadi bisa menampung batang kemaluan sebesar apapun.

Devi merasa sangat keenakan ketika kumainkan kemaluannya, berkali-kali Devi orgasme. Cairan maninya sungguh wangi. Setelah puas memainkan vagina Devi, kuminta Devi bersiap, sedangkan Indah kusuruh berhenti memainkan buah zakar dan batang kemaluanku. Lalu kupagut bibir Indah sebentar, kemudian kuciumi leher dan tengkuknya. Indah mendesah, tidak berapa lama, kuberalih ke payudara dan puting susu Indah. Kuciumi dan hisap dengan penuh nafsu, payudara yang baru membukit itu kuremas-remas dengan gemas. Puting susunya yang kecil itu kuhisap dan kusedot. Aku menyusu cukup lama, vagina Indah yang sudah basah pun tidak luput dari hisapanku. Devi sudah menunggu-nunggu, menantikan batang kemaluanku memasuki lubang nikmat kecilnya.

Segera saja kuselesaikan hisapanku di lubang kemaluan Indah. Kurasa dengan lubang kemaluan Indah, aku tidak akan merasa kesulitan, lubang kemaluan Indah kunilai sama dengan punya Anna dan Lia waktu pertama kali dimasuki batang kejantananku. Yang kupikir, kesulitannya adalah lubang vagina Devi, selanjutnya kusuruh Indah untuk bersiap-siap juga.

Kuludahi batang kemaluanku agar licin, lalu kuarahkan perlahan kepala kemaluanku itu ke lubang surganya Devi. Kutekan sedikit, meleset, kuposisikan lagi, tekan lagi, tetap saja meleset, tidak mau masuk. Untunglah Anna dan Lia datang, mereka berdua tanggap dengan kesulitan yang kuhadapi. Lia dengan sigap menepiskan kedua sisi vagina Devi dengan kedua sisi telapak tangannya. Lubang senggama Devi bisa terkuak, kucoba masukkan lagi, ternyata masih meleset juga, Anna yang melihat hal itu tanpa ragu-ragu juga ikut turun membantuku. Anna mengulurkan jari tanggannya, memijat bagian atas dan bawah lubang senggama Devi, sehingga secara elastis lubang kemaluan Devi bisa lebih terkuak sedikit. Aku berkonsentrasi memasukkan kepala kejantananku ke lubang senggama Devi itu.

Kepala kemaluanku dengan sedikit kupaksakan, bisa masuk ke lubang surganya Devi, kutahu Devi merasa kesakitan. Devi hanya meringis dan dari sudut matanya meleleh air matanya. Indah yang dari tadi menunggu giliran lubang senggamanya ditembus batang kejantananku, karena mengetahui bahwa aku mengalami kesulitan, akhirnya ikutan pula membantuku memuaskan Devi. Tanpa malu-malu, Indah menyodorkan puting susunya ke mulut Devi, layaknya ibu kepada bayinya yang minta susu. Devi mengulum puting susu Indah dengan kuat. Indah merasakan kalau puting susunya digigit oleh Devi, Indah diam saja, hanya sedikit menyeringai, menahan sakit tentunya.

Aku menekan terus, sehingga sudah separuh batang kejantananku masuk ke dalam lubang senggama Devi. Kepala kemaluanku bagaikan disetrum dan dihisap oleh suatu tenaga yang luar biasa mengenakan. Kutekan sekuat tenaga, dan "Blusss..."
Masuknya seluruh batang kejantananku ke dalam lubang kemaluan Devi diiringi dengan dua jeritan. Yang pertama adalah jeritan Devi sendiri karena merasa sakit dan enak, matanya sampai meram melek, kadang membelalak. Satunya lagi adalah jeritan Indah, sebab tanpa Devi sadari, Devi telah menggigit keras puting susu Indah yang masih dikulumnya itu.
Anna dan Lia hanya tersenyum-senyum saja, kubiarkan batang kejantananku membenam di dalam lubang senggama Devi. Kurasakan empotan-empotan vagina Devi. Setelah sekian lama aku menikmati, kumundurkan pantatku, ternyata bibir kemaluan Devi ikut tertarik. Bibir kemaluan Devi mengikuti gerakan pantatku, begitu aku mundurkan maka bibir kemaluan Devi akan mencuat ke atas karena ikut tertarik. Sebaliknya, jika kumajukan lagi pantatku, maka bibir kemaluan Devi pun ikut mencuat ke bawah dan terbenam. Sungguh fantastis, aku tidak menyesal merasakan enaknya yang luar biasa.

Kupercepat gerakan maju mundurku, semakin lama aku merasakan lubang senggama Devi membasah dan membanjir. Lorong lubang vagina Devi pun semakin licin, tetapi tetap saja sempit, sampai akhirnya Devi terkuras tenaganya dan tidak bisa mengimbangiku mencapai puncak kenikmatan. Tubuh Devi berkali-kali menegang.
"Oommm... Devi pipis lagi... ahhh..." desahnya.
Cairan mani putih dan hangat milik Devi merembes deras keluar dari celah-celah lubang kemaluannya yang masih disumpal oleh batang kejantananku.

Devi sudah lelah sekali, aku pun sudah mulai bergetar pertanda puncakku pun sudah dekat, maka kucabut saja batang kemaluanku dari lubang senggama Devi.
Begitu kucabut, terdengar bunyi, "Ploppp..." seperti bunyi batang pompa dikeluarkan dari pipanya.
Devi kusuruh istirahat, ternyata Devi suka menyusu juga, karena puting susu Indah ternyata masih dikulumnya. Devi manja tidak mau melepaskan, sampai akhirnya, Anna yang sedang duduk-duduk berkata.
"Eh Vi... udah dong neteknya, kasihan tuh Indah, kan sekarang gilirannya dia." Anna mengingatkan, "Besok-besok kan masih bisa lagi..." tambah Anna.

"Iya-iya... aku tahu kok..." Devi akhirnya menyadari, lalu melepaskan puting susu Indah dari mulutnya.
"Vi... nih kalo mau... puting susuku juga boleh kamu isepin sepuasnya..." ujar Anna sambil memijat-mijat sendiri puting susunya yang membenjol paling besar sendiri.
Devi mau saja memenuhi ajakan Anna, maka kulihat Devi begitu rakusnya mengulum dan menyedot puting susu Anna. Kadang Devi nakal, menggigit puting susunya Anna, sehingga Anna menjerit kecil dan marah-marah.

Setelah lepas dari Devi, Indah kemudian menempatkan diri dan bersiap-siap. Indah mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar, sehingga terkuaklah lubang senggamanya yang sudah cukup basah karena cairan mani yang meleleh dari dinding di lubang vaginanya. Betul juga, aku berusaha tanpa melalui kesulitan, berhasil memasuki lubang senggama Indah, seperti halnya aku pertama kali menerobos lubang kemaluan Lia dan Anna. Kumasukkan batang kejantananku seluruhnya ke dalam lubang kenikmatan Indah. Indah menahan perih, karena keperawanannya baru saja kutembus. Tetapi karena sudah sangat bernafsunya, maka rasa perih itu tidak dirasakannya lagi, yang ada hanyalah rasa enak, geli dan nikmat. Indah meram melek merasakan adanya batang kejantananku di dalam lubang senggamanya.

"Oom Agus, gerakin dong..." Indah memintaku untuk segera memulai.
"Baik Indah, Oom minta Indah imbangi Oom ya...!" Indah tidak menjawab tetapi hanya manggut-manggut.
Kumulai saja gerakan maju mundur pantatku, batang kemaluanku masuk dan keluar dengan leluasanya, pertama dengan perlahan dan kemudian kupercepat. Indah sudah banyak belajar dari melihat langsung permainanku tadi dengan Lia, Anna, maupun dengan Devi. Indah memutar-mutar pantatnya sedemikian rupa. Aku merasa kalau Indah yang pendiam ternyata mempunyai nafsu yang besar. Kurasa Indah akan lebih kuat mengimbangiku.

Betul juga dugaanku Indah memang kuat juga, setelah hampir seperempat jam kuberpacu, Indah masih belun juga mengeluarkan cairan maninya, sedangkan aku sendiri memang masih bisa menahan puncak orgasmeku, disebabkan aku telah minum obat dopping 6 pil sekaligus.
"Ayoooo Oomm... Indah merasa enakkk... terusiiinnn..." Indah kembali meracau.
Kuteruskan memacu, aku heran, kenapa Indah bisa selama ini, padahal Indah baru pertama kali merasakan nikmatnya senggama.
"Indah... kamu kok kuat sekali sih...?" tanyaku sambil terus memacu.
"Ini berkat obat Oom lhoooo..." jawab Indah bersemangat sambil memutar-mutarkan pantatnya ke kiri dan ke kanan, sedangkan kedua tangannya meremas-remas payudaranya sendiri dan sesekali menarik-narik puting susunya yang masih menegang.

Aku kaget juga mendengar pengakuan Indah, sampai aku berhenti melakukan gerakan. Ternyata Indah meminum obatku juga, jelas saja.
"Kok berhenti Oom... gantian Indah yang di atas ya?" kata Indah lagi.
Aku diam saja, kami berganti posisi. Kalau tadi Indah dalam posisi aku tindih, sekarang Indah yang berada di atas dan menindihku. Indah menaik-turunkan pantatnya, maju mundur, perlahan dan cepat, kadang berposisi seperti menunggang kuda, liar dan binal.

Permainan dalam posisi Indah di atas dan aku di bawah, ternyata menarik perhatian Lia. Dari tadi Lia memang hanya melihat pergulatanku dengan Indah.
"Oom Agus... masa sih kalah sama Indah..." sindir Lia kepadaku.
"Ngga dong... tenang saja Lia..." jawabku membela diri.
Kulihat juga Devi rupanya menyudahi kegiatan menyusunya dari puting susu Anna. Mereka bertiga rupanya tertarik menontonku. Kadang berkomentar yang membuatku tersenyum.

"Yaccchhh... Oom Agus ngga adil... Oom Agus curang, sama Indah bisa selama ini, sama Anna kok cepet sekali." Anna memprotes.
"Lho, kan Anna tadi sudah kecapean, maka Oom suruh istirahat, dan cuma Indah sendiri yang belon capek nih..." lanjutku.
Indah sudah berkeringat banyak sekali, aku merasakan ada cairan hangat yang merembes di batang kejantananku. Aku sendiri mulai merasa adanya desakan-desakan dari pangkal kemaluanku.
"Oomm... Indah udah ngga kuat nahannya nih... sshh heehh..." kata Indah sepertinya menahan.
Mendengar ini, langsung saja kuganti posisi lagi. Aku kembali di atas dan Indah di bawah, kupercepat gerakanku sampai maksimal.
"Oommmm... Indahhh... aaakkkhhhh... hekkksss aahhh..." Indah menjerit histeris.
Tubuhnya menegang dan memelukku dengan erat, rupanya Indah telah mencapai puncak nikmatnya, dari dalam lubang senggamanya menyemprot berkali-kali cairan maninya yang hangat menyiram kepala kejantananku yang masih berada di dalam lubang vaginanya.

Lubang kemaluan Indah dibanjiri oleh cairan maninya sendiri, becek sekali vagina Indah. Batang kejantananku sampai terasa licin, sehingga menimbulkan bunyi berdecak. Indah sudah tidak bisa mengimbangiku, padahal aku dalam keadaan hampir sampai, katakanlah menggantung. Kucabut saja batang kemaluanku dari lubang senggama Indah, lalu kutarik Devi yang sedang duduk bengong, kusuruh Devi tidur telentang dengan kaki di kangkangkan. Devi tahu maksudku. Segera saja Devi melakukan apa yang kusuruh. Anna dan Lia langsung riuh berkomentar.
"Yacchhh Oom Agus, kok Devi sih yang dipilih..." rungut Anna.
Sedangkan Lia hanya tersenyum kecut sambil berkata, "Ayoooo Oomm... cepetan dong... habis ini kita makan... Lia udah buat capek-capek tadi." sambil menyuruhku menyelesaikan finalnya.

Aku seperti terhenyak. Segera saja kumasukkan batang kejantananku ke lubang senggamanya Devi yang masih merah. Beruntung sekali, lubang senggama itu masih basah oleh cairan mani, sehingga hanya dengan kupaksakan sekali saja langsung masuk. Lubang kemaluan Devi yang begitu sempit memijat hebat dan menghisap batang kejantananku. Aku ingin menyelesaikan puncak orgasmeku secepatnya. Makin kupacu gerakanku. Devi yang tadinya sudah dingin dan kurang bernafsu langsung terangsang lagi. Tidak sampai lima menit, aku memeluk erat tubuh kecil Devi dan kumuncratkan cairan maniku di dalam lubang senggama Devi.

"Aaahhh... hiaaahhh... Cruuutttt... Crottt..."
Cairan maniku banyak sekali. Aku langsung lemas seketika. Batang keperkasaanku pun sudah mulai loyo, sungguh pergulatan yang hebat. Aku dikeroyok oleh empat gadis kecil dengan hisapan mulut senggamanya yang luar biasa. Kucabut batang kejantananku dari lubang nikmatnya Devi. Kemudian kuajak Devi dan Indah mandi sekalian denganku. Habis mandi kami makan bersama, lumayan enak makanan buatan Anna dan Lia.

Setelah makan, aku mengevaluasi dan bercakap-cakap dengan gadis-gadis kecil itu. Ternyata Anna, Lia, Indah dan Devi masih bersemangat dan mereka mengajakku melakukannya lagi. Aku terpaksa menolak, kelihatan sekali mereka kecewa. Untuk mengobati rasa kecewa mereka, kuberikan kepada mereka kaset BF tentang lesbian untuk ditonton. Isi ceritanya tentang hubungan badan wanita dengan wanita yang saling memberi rangsangan. Aku hanya mengawasi saja, sampai akhirnya mereka mempraktekkan apa yang baru saja mereka tonton.

Aku dikelilingi oleh gadis-gadis kecil yang haus sex. Besok harinya, kebetulan adalah hari minggu, aku memuaskan gadis-gadis kecil itu dalam berolahraga senggama, sampai aku merasa sangat kelelahan, sehari minggu itu aku bercinta dengan gadis-gadis kecil. Betul-betul enak.

Kejadian ini berlangsung lama. Aku lah yang membatasi diri terhadap mereka, sampai akhirnya mereka mengalami yang namanya masa datang bulan, dan mereka juga mengerti kalau apa yang kusebut olahraga ternyata adalah hubungan sex yang bisa untuk membuat adik bayi, tetapi mereka tidak menyesal. Jadi jika akan melakukan senggama, kutanyakan dulu jadwal mereka. Aku tidak ingin mereka hamil. Anna, Lia, Indah maupun Devi akhirnya mengetahui kapan masing-masing akan mendapatkan jatahnya.

Setelah mereka berempat duduk di bangku SMU kelas 2, bisa dikatakan telah beranjak dewasa dan matang, begitu juga umurku sudah menjadi 36 tahun. Aku sudah menjalin hubungan serius dengan wanita rekan sekerjaku, lalu aku menikahinya dan aku membeli rumah sendiri, tidak lagi kost di tempat Lia. Anna, Lia, Indah dan Devi pun sudah mempunyai pacar, tetapi mereka tidak mau melakukan hubungan senggama dengan pacarnya. Mereka hanya mau berbuat begitu denganku saja.

Karena aku sudah beristri, mereka pun memahami posisiku. Hubunganku dengan mereka tetap terjalin baik. Istriku juga menganggap mereka gadis-gadis yang baik pula, aku pun berterus terang kepada istriku mengenai apa yang sudah kualami bersama gadis-gadis itu. Istriku memakluminya, aku sangat mencintai istriku. Akan tetapi istriku kurang bisa memenuhi kebutuhan seksku yang memang sangat tinggi. Karena istriku mengetahui kekurangannya, lalu istriku yang bijaksana mengijinkan Anna, Lia, Indah, dan Devi untuk tetap bermain seks denganku.

Pernah dalam semalam, aku melayani lima wanita sekaligus, Anna, Lia, Indah, Devi dan istriku sendiri. Dari keempat gadis kecil itu, yang paling sering menemaniku dan istriku bersenggama hanyalah Anna dan Lia. Untuk Anna, disebabkan selain orang tua dan kakak Anna tidak tinggal di kota ini, Anna takut tinggal sendiri di rumah besarnya. Hampir tiap hari Anna menginap di tempatku. Untunglah para tetanggaku mengira kalau Anna adalah keponakan istriku. Sedangkan Lia, masih tetap seperti dahulu, papanya bekerja di ibukota dan mamanya masih bekerja di otomotif, kadang justru tidak pulang, jadi jika begitu, Lia ikut pula menginap di rumahku. Tante Linda masih percaya penuh kepadaku. Walaupun sepertinya mengetahui hubunganku dengan anak gadisnya, aku santai saja.


TAMAT